15.

14.1K 776 29
                                    

Mevan membuka pintu kamarnya, dan pertama kali yang ia lihat adalah Vanya yang tengah duduk di atas kasurnya dengan tubuh berbalut selimut miliknya dan jangan lupakan koyo yang di letakan di kening Vanya bagaikan layar bioskop.

Sebenarnya apa yang sudah Vanya lakukan sampe menangis dan hujan-hujanan di depan rumahnya? Meminta maaf, meminta maaf untuk apa? Sedangkan gadis itu tidak salah sama sekali.

"Anya..." panggil Mevan dengan suara pelan, ia takut jika nanti Vanya akan kembali takut.

Vanya yang tengah fokus dengan acara kartun di televisi refleks menoleh pada Mevan.

Dan Mevan seketika khawatir saat wajah Vanya begitu pucat, namun saat ia ingin mendekat pada Vanya tiba-tiba ia merasa ragu.

"Mevan marah sama Anya?" tanya Vanya dengan suara lirih, ke dua matanya terlihat seperti ingin kembali menangis.

Dan Mevan sangat tau jika Vanya sebentar lagi memang akan menangis.

Dengan cepat Mevan menggelengkan kepalanya, "Engga Anya."

"Kalo emang engga marah kenapa Mevan gak peluk Anya? Apa Mevan gak kangen sama Anya?" Vanya bertanya sambil terus menatap Mevan yang menunduk.

"Gua takut kalo nanti lo bakal tambah takut samaa gua, kalo gua mendekat," ucap pelan Mevan.

"Gua udah gak takut sama lo Van," ucap Vanya yang seketika merubah gaya bicara.

Mevan mendongkak manatap Vanya, tatapan matanya terlihat terkejut.

"Peluk gua dulu, gua rindu sama lo Van," Vanya merentangkan ke dua tangannya pada Mevan, membuat selimut yang menutupi tubuhnya terlepas.

Mevan semakin di buat terkejut saat Vanya ternyata memakai jaket tebal kebesaran miliknya itu, Mevan terkejut karna Vanya benar-benar terlihat mengemaskan.

"Mevan?" Vanya menatap Mevan dengan mata yang berubah berkaca-kaca.

Sial gadis itu bisa saja membuat Mevan tak bisa menolak dengan kelakuan mengemaskannya itu.

Dengan cepat Mevan mendekat ke arah Vanya, memeluk Vanya dengan erat, Ia benar-benar merindukan Vanya, bahkan ia merindukan ke dua tangan mungil Vanya yang melingkar di lehernya saat ia memeluknya.

"Kenapa lo ujan-ujannan?" tanya Mevan tanpa melepaskan pelukannya, ia masih merindukan Vanya.

"Gua mau minta maaf sama lo," ucap Vanya sambil mengeratkan pelukannya pada leher Mevan, menengelamkan wajahnya pada tengkuk leher Mevan.

"Ngapain minta maaf? Lo gak salah, yang seharunya minta maaf itu gua bukan elo."

"Tapi nyatanya disini gua yang salah Van, gua udah ngejauhin lo cuman karna trauma sialan itu! Padahal selama ini lo sendiri yang bantu gua buat matiin trauma itu."

"Maafin gua karna udah ngizinin rasa trauma itu menguasai diri gua, menghantui gua sampe gua takut sama elo yang notabanennya gak salah," suara Vanya semakin mengecil, ia mati-matian menahan diri agar tidak menangis sampai semua ucapannya keluar namun ia sudah tak bisa menahan diri agar tidak menangis.

"Lo gak pernah salah Nya, dan gua gak pernah marah sama lo," jelas Mevan tanpa merasakan sakit di sekujur tubuhnya lagi setelah di siksa oleh Naya tadi, yang sekarang ia rasakan adalah rasa hangat dari tubuh mungil yang berada di pelukannya itu.

"Jangan di lakuin lagi yah, gua gak mau lo sakit karna ujan-ujanan kek gitu cuman demi minta maaf sama gua doang, gua selalu maafin lo separah apapun kesalahan lo, tapi jangan nyakitin diri lo lagi," Mevan berucap dengan nada penuh keseriusan.

Kesalahan yang di lakukan oleh Vanya memang selalu Mevan maafkan, namun Mevan selalu benci saat Vanya melakukan hal bodoh hanya demi kata maaf darinya.

𝐕𝐚𝐧𝐕𝐚𝐧.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang