#27 - Sidik

117 15 7
                                    

"Jadi ... Risa sama Reylan ... " Zakri duduk termenung sembari memandangi beberapa lembar foto yang dipegangnya. Bibirnya sedikit terbuka, tatapan matanya sayu dengan pikiran dan perasaan sakit yang berkecambuk. Kini, ia sedang bersama Rena di dalam tenda miliknya.

"Sorry ya, Ri. Gue nggak bilang sama lo sebelumnya," ujar Rena dengan mimik merasa bersalah. Ia menatap Zakri yang kini tersenyum miris kepadanya.

"Nggak pa-pa, Ren. Kalo gitu, mungkin gue harus menjauh dari Risa," ucap Zakri lirih. Ia mengusap wajahnya gusar, masing-masing sikunya ia tumpukan di kedua lututnya. Rena mengulum senyumnya. Tentu saja di dalam hatinya ia sangat merasa senang. Saat inilah yang sungguh ia nantikan. Rasa sakitnya terbayar dengan rasa bahagianya sekarang.

Rena menggeser posisi duduknya ke samping--sedikit mendekat ke posisi duduk Zakri. Ia menepuk pundak Zakri beberapa kali. "Yang sabar ya, Ri. Yang terbaik, pasti akan datang tanpa pergi." Zakri mendongakkan kepalanya lalu menoleh ke samping, menubrukkan irisnya dengan iris Rena. Ia mengangguk sambil tersenyum. Rena merasa senang bisa bersama Zakri, hanya berdua saja. Rena tidak bodoh, tentu ia tahu ini adalah kesempatan dalam kesempitan baginya. Ia menyandarkan kepalanya ke pundak Zakri ragu-ragu. Namun, Zakri tidak memberi perlawanan ataupun menjauh sedikit pun, jadi, ini memang kesempatan bagi Rena, bukan?

"Gue bakal selalu ada buat lo, Ri. Sampai kapan pun."

"Makasih, Ren."

☕☕☕

"Jawab, Rey!" Risa terus memaksa Reylan untuk memberitahunya. Air mata telah mengalir deras di pipinya, tak percaya dengan apa yang telah dilihatnya. Reylan pun merasa tak tega melihat kondisi Risa, tapi apa boleh buat? Ia tetap harus mengatakannya.

"Gue dapat dari Zhia," ucap Reylan pelan. Jujur ia pun merasa ragu dengan jawabannya, ia merasa takut dengan reaksi Risa. Ia tak ingin kondisi Risa bertambah buruk.

Risa terdiam kala mendengar nama yang Reylan sebutkan. "Zhia? Gimana bisa?" Ia menatap Reylan dengan sorot meminta penjelasan.

"Yaa ... Zhia memotret mereka setiap mereka jalan bareng," ucap Reylan, ia membasahi bibir atas dengan lidahnya. Risa kembali memandang foto-foto yang dipegangnya--foto pertama, ketika Rena dan Zakri ada di toko buku; foto kedua, ketika Zakri menggendong Rena, mereka saling tatap dan tersenyum; foto ketiga, ketika Zakri memberikan jagung rebus kepada Rena.

Risa mematung dengan tatapan kosong. Air matanya sudah tak lagi mengalir, hanya saja rasa sakit yang terus mencabik kepercayaannya. Hatinya kembali dipenuhi keraguan. Ia merasa menyesal telah membuka hati kembali. Risa memang salah, ia telah mengingkari janjinya. Tapi, Zakri juga salah, ia menyakiti Risa ketika Risa telah membuka hati untuknya. "Ulang tahun gue sebentar lagi. Dan Zakri nggak menepati kata-katanya," ucap Risa lirih. "Jadi, dia bukan yang terbaik buat gue. Gue memang nggak ditakdirkan bahagia."

Reylan mengusap lembut pucuk kepala Risa. Ia sendiri bingung bagaimana perasaannya saat ini. Ia merasa senang sekaligus sedih di saat yang bersamaan. "Lo masih punya gue, Nessa, Aril. Ingat, lo masih punya sahabat-sahabat lo. Kami nggak bakalan pernah ninggalin lo, Ris. Terutama gue, gue bisa lo andalkan kapan aja," ucap Reylan meyakinkan.

Risa tersenyum mendengar penuturan Reylan yang tulus. Ia mengangguk dua kali dan memeluk Reylan."Makasih, Rey. Lo sahabat gue yang paling baik. Gue sayang sama lo."

Reylan membalas pelukan Risa. Ia tak jadi merasa sedih, bahkan ia tak bisa mengungkapkan betapa senangnya ia saat ini. Seolah ia lupa dengan dunia, lupa akan masih ada hari esok, lupa bahwa masalah selalu menghampirinya di dalam hidup, di mana pun ia berada.

TIRAMISSU (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang