24| Celah

14.1K 1.9K 223
                                    

Maaf ya bikin kalian kangen, ini udah apdet kan wkwk. Bikin hipotesis yuk, kira-kira dari judulnya, isinya bakal kayak gimana? I'll wait you at a/n below.

****

Waktu nyokap gue bilang ada yang nyariin gue di bawah sana, gue awalnya bingung karena seinget gue, gue gak ada janji sama siapa pun hari ini. Selama beberapa detik gue mikir, kira-kira siapa yang dateng ke rumah gue sore-sore gini. Temen-temen gue gak ada yang punya waktu luang, dan dugaan terakhir gue mengarah ke Farah. Sontak gue langsung bangun dan ngecek, kali aja beneran Farah, dan dia mau berubah pikiran.

Tapi pas gue berdiri di anak tangga paling atas, harapan gue yang udah melambung tinggi pupus seketika. Dari sekian banyak orang, gue gak pernah menduga kalau Lala yang dateng ke rumah gue. Soalnya setau gue dia gak tau alamat rumah gue, ya meskipun bisa aja sih dia tau dari Radian atau Gea. Tapi Lala bener-bener unexpected.

"Lo lagi bengongin apaan?" tanya gue waktu sampe di anak tangga terakhir.

"Eh, enggak, Bang. Takjub aja gue sama interior tangganya, aeshtetic."

"Oh," gue duduk di lain sofa, "Lo tau rumah gue?"

"Dikasih tau sama Radian," Lala ngeluarin berkas-berkas yang dia bawa, "Tadi gue di luar seharian, soalnya habis ketemu nasabah. Ya udah sekalian gue yang nganterin aplikasi sama data-datanya."

"Oh, ada berapa yang lo ambil?"

"Tiga, sama punya Radian satu jadi empat. Gue tadinya gak mau ke kantor, tapi rese banget Mbak Gea. Jadilah gue mampir ke kantor dulu sebelum ngambil punya Radian. Itu anak satu juga ngeselin banget lagi pake acara nitip."

"Biasanya juga gitu, paling sering dia nitip di Liona," ucap gue menanggapi, "Ini aplikasi doang, disimpen di Gea juga bisa."

"Ih, titah Yang Mulia ini tuh, jangan protes sama gue."

"Maksud lo Pak Rendy?"

Lala ngangguk. "Lagian lo gak masuk sih, tumben? Kenapa, Bang?"

"Kenapa? Lo kangen?"

Di tempatnya Lala bergidik, gue ketawa pelan. "Ngapain gue kangen? Seriusan gue nanya, tumben aja gitu lo gak masuk."

"Gak apa-apa, cuma demam aja. Tadinya sekalian ngasih lo dispensasi dari omelan gue, tapi lo ternyata di luar kantor."

"Ya sama aja sih, di luar kantor pun gue gak kena omelan lo. Di grup juga lo gak ada jejak, kan?" Lala berhenti sebentar dari kegiatannya. "Beberapa hari ini kok lo rada aneh ya, Bang? Lo kemaren-kemaren gak bisa gue hubungin. Terus sekarang lo sakit."

"Gue istirahat."

"Istirahat bukan berarti lo koma, Bang. Tangan lo kan masih bisa angkat telepon sama cek WhatsApp."

Satu alis gue terangkat. Dari sini gue bisa liat raut wajah penasaran Lala. Tapi di lain sisi, gue juga bisa ngedenger dia ngomong dengan nada yang seolah-olah menyiratkan kalau dia sedang menyayangkan ketidakaktifan gue di WhatsApp dan panggilan telepon. Dan itu menarik.

"Emang ada hal penting banget, La?"

Sepersekian detik wajah Lala keliatan speechless, baru dia menjawab pertanyaan gue. "Ya—ya, enggak juga sih. Tadinya gue cuma mau nanya tentang Bu Lita yang tiba-tiba minta ketemu sama gue. Tapi gak jadi, gue udah ketemu."

"Terus?" tanya gue sambil ngeliatin berkas-berkas yang udah gue pegang, tapi tiba-tiba gue inget sesuatu, "Eh, lo mau minum apa? Biar gue ambilin dulu."

"Gak usah, Bang, gue gak haus."

"Itu artinya lo bilang apa aja, kan?"

"Astaga, gue enggak haus-haus banget kok," setelah ngomong gitu dia senyum-senyum sendiri, "Es teh aja Bang," senyumannya berubah jadi kekehan canggung.

Tuan UltimatumWhere stories live. Discover now