37| She Is Here?

13.4K 1.7K 202
                                    








"Wah, Mama bisa masak?"

"Eh, kamu, La," panci yang ada di tangan nyokap langsung dia taruh di atas meja bar, terus ngelap telapak tangannya ke celemek, "Ini cuma mau masakin Adriel spaghetti carbonara aja kok, dia lagi mau makan ini sambil main game. Kamu mau?"

"Adriel?" gue bingung siapa itu Adriel.

"Adiknya Lita, namanya Adriel. Tadi bukannya kamu ketemu di depan?"

"Oh, dia namanya Adriel," perhatian gue balik ke atas meja bar lagi, "Masih ada emang, Ma? Aku mau deh, dua porsi ya. Satunya buat temenku."

Senyum nyokap terbit bagai rembulan di malam hari. "Oke, tunggu sebentar ya," dia balik lagi berkutat sama peralatannya, gue berinisiatif duduk di kursi depan meja, "Itu cowok yang diajak kamu bukan pacar emangnya, La?"

Gue mendengus kesel. Ini seluruh perkumpulan ibu-ibu di Indonesia kayaknya emang diciptakan buat jadi biang dari dunia pergibahan sih asli. Demen banget kayaknya sampe-sampe nyokap baru gue secepet itu bikin spekulasi sendiri. Kenapa coba dia biasa mikir Molan pacar gue?! Emang yang deket harus pacaran?

Eh, tapi gue juga calon ibu-ibu sih. Pantes hobi kalau udah denger ghibah.

"Bukan, Ma. Dia atasan aku di kantor."

"Loh, Mama kira kalian pacaran. Soalnya pas ngeliat kalian, chemistry-nya dapet banget gitu."

"Idih, apanya," dikira sinetron FTV kali pake chemistry, "Aku kurang suka sama cowok-cowok nyebelin gitu, suka pusing sendiri kalau dia lagi kumat."

"Biasanya kalau dia bikin kamu sebel-sebel gitu, itu tandanya dia minta perhatian lebih tau, La."

"Dia nyebelin kalau di kantor doang sih. Di luar kerjaan ya biasa aja," gue pura acuh tak acuh, "Oh iya lanjut, Ma, ini airnya mau di-bully apa gimana biar panas," alih gue dari pertanyaan sensitif itu.

"Iya deh," jawab nyokap. "Jangan keras-keras bully-nya nanti kamu kena undang-undang."

Gue ketawa ngakak habis itu astaga, ternyata receh gue dibales receh lagi. Mana ada undang-undang air ter-bully. Mana nyokap tiri gue ketawa juga lagi, tapi ketawanya serem.

"Kamu tau gak sih, Mama tuh seneng banget kamu mau pulang ke rumah. Soalnya Adriel keseringan main sama temen sekolahnya, Lita juga selain kerja ya jalan sama tunangannya. Mama jadi lebih banyak sendiri kalau di rumah, apalagi kalau Papa kamu lagi banyak tamu perusahaan. Kalau ada kamu kan jadi ada temen ngobrol."

"Kan ada ART di sini, Ma."

"Ah, gak enak. Mereka diajak ngobrol malah kayak ketakutan. Jadi kadang-kadang Mama kalau bosen di rumah, ya ngontrol ke resto-resto. Lumayan ada kerjaan."

"Emang gak ada temen arisan? Dulu ibu kandungku punya satu grup arisan, sekaligus aktivis sosial gitu. Aku kira Mama juga punya."

"Belum nemu yang cocok sih. Mama kurang suka arisan, mending uangnya ditimbun di bank aja. Kalau sosial-sosial gitu Mama lebih sering jalan sendiri, atau sama Papa kamu. Adriel sama Lita juga ikut kadang-kadang."

"Oh," gue takjub. Baru kali ini di keluarga gue ada yang gak ikut kelompok aktivis sosial, selain gue. Walaupun Papa sebenernya suka ikut aktivitas sosial juga, tapi itu karena ngikutin Mama sih, bukan inisiatif pribadi. Kakek gue juga dulu aktivis sosial di Kenya, bareng nenek gue dan kelompoknya. Aunty gue di Semarang juga kerjaannya keliling Indonesia, ke daerah-daerah terpencil.

"You trying so hard, right?"

"Hah? What?"

"To call me Mama," ucapnya pelan, "Jangan dipaksa, La, kalau belum terbiasa, Mama masih bisa ngerti kok."

Tuan UltimatumWhere stories live. Discover now