32| Lo Harus Pulang

13.9K 1.8K 131
                                    




Tatapan gue sontak berubah memicing sewaktu kaki gue berhasil masuk ke dalam bus. Pagi-pagi gini gue harus lari-larian ngejar waktu hanya karena gak mau ketinggalan bus, soalnya begitu gue sampe di halaman gedung apartemen Lala, cewek itu udah jalan cepet duluan ke area luar apartemen dan beranjak ke arah halte bus terdekat. Tentu aja saat itu juga gue langsung markirin motor secara sembarang dan nyusul dia, gue gak mau dateng jauh-jauh ke Tebet dengan hasil yang sia-sia. Kalau gue gak cepet-cepet nyusul, yang ada gue gak jadi berangkat bareng Lala.

Dari tempat gue mengatur napas, gue bisa liat dia udah duduk di kursi paling pojok. Di sebelahnya ada anak sekolah, dan di seberangnya ada ibu-ibu lagi asik main ponsel. Dalam hati gue berdecak kesal, itu artinya, untuk berinteraksi sama Lala, gue harus berdiri alih-alih duduk di samping dia. Kalau mau duduk, berarti gue harus duduk di sebelah ibu-ibu dan berhadapan sama si anak sekolahan. Dan demi apa pun, that's a bad place for make a conversation with her.

Tapi, untungnya dia duduk di pojok, gue bisa berdiri sambil nyender ke dinding bus. "Lo kenapa ninggalin gue gitu sih, La? Gue kan bawa motor!" ucap gue setelah sampai di dekat dia.

Lala ikut-ikutan natap gue kesel. "Lagian lo itu ngeselin tau gak? Orang tuh ya, kasih info mau jemput tuh semalem 'kek, atau dua jam sebelum waktu gue berangkat. Ini mah, gue udah di dalem lift baru nge-chat."

"Emang kenapa, sih?" tanya gue heran. "Kan yang penting lo belum sampe di dalem bus, dan masih bisa ketemu di depan. Kenapa harus ninggalin gue?"

"Karena lo ngerusak niat gue untuk berlama-lama di bus, tau!" Lala merengut, "Kata lo 'kan hari ini Bu Lita dateng ke kantor."

"Astaga," gue menghela napas, "Cuma karena itu doang?! Dan gue harus lari-larian ngejar bus?"

"Siapa suruh ngejar gue? Lo tinggal berangkat aja pake motor, beres. Lebih cepet sampe malah."

Sadar kalau semakin gue menyela dan membela diri gue bakal semakin salah, akhirnya gue ngalah. "Emang harus banget berlama-lama di bus? Padahal kan nanti bakal ketemu juga di kantor, baik telat ataupun enggak."

"Sebelum ke kantor kan gue janjian dulu sama Andien, masa dia gue tinggal?"

"Oke, fine," gue berusaha gak membahas tentang problematika naik bus ini. Setelah jeda selama beberapa detik, gue liat dia menopang pipinya sambil mengembuskan napas pelan, "Lo gak apa-apa?"

Dia natap gue bingung. "Gak apa-apa apanya?"

"Lo keliatan lagi mikirin sesuatu. Ada yang mengganjal?"

"Gak ada."

Mata gue menajam. "Usaha lo buat bohongin gue gak berhasil, La."

Mungkin karena tau gue gak bisa dibohongin, raut wajah Lala jadi berubah sendu dan pasrah. "Perasaan gue gak enak aja, Lan. Gue tiba-tiba jadi mikirin Bu Lita, dan gue ngerasa kayak something's gonna happen. It's bad, tapi kalau emang Bu Lita dateng buat nyuruh gue ketemu bokap, gue emang harus mulai menerima dan nemuin dia. Kayak yang lo bilang."

"Iya, lo cepat atau lambat emang harus ketemu sama bokap lo sih. Lo gak kasian apa sama dia?"

"I know, I'm trying, Lan. Gue cuma masih ngerasa gak fair aja kalau gue yang dateng ke bokap. Selama ini gue merasa gak dibutuhkan dengan cara dia yang gak nyari langsung keberadaan gue, dan kalau gue tiba-tiba dateng ke dia nanti kan apa ego dia gak semakin menang?"

"Bisa jadi dia lagi menanti lo buat pulang, La," gue berpendapat, "Karena yang pergi itu untuk pulang, bukan untuk dicari. Lo yang memutuskan untuk pergi dari rumah, kan?"

Tuan UltimatumOù les histoires vivent. Découvrez maintenant