Mausoleum Chapter Tiga puluh Enam: A Choice

4.2K 476 25
                                    


Ada begitu banyak hal yang seharusnya membuat Sakura dipaksa untuk berhenti berharap dia bisa hidup bahagia. Namun sebanyak apapun Sakura mencoba, nyatanya hati kecilnya tetap tak ingin membuat pendirian buruk seperti itu.

Masih banyak yang bisa dia lakukan daripada hanya terpaku pada kesedihannya. Kakaknya masih sering memberikan perhatian ditengah kesibukannya, penggemar yang tak hentinya memberikan dukungan dibalik begitu banyaknya desakan dari para hater agar meminta Sakura agar segera menarik diri dari dunia hiburan. Kenyataan yang terungkap satu persatu, beberapa fakta terasa begitu gila dan tak masuk akal. Membuat Sakura harus beradaptasi dengan keadaan yang ia terima jika dia tak ingin membuat kewarasannya menghilang. Dan yang terpenting dari semua yang terjadi adalah...

Sasuke sudah kembali padanya, menemani hari-hari sulit Sakura dengan keberadaannya. Meskipun Sasuke lebih sering bersikap pasif seolah-olah dirinya tak peduli, tapi Sakura tahu, dibalik keterdiaman Sasuke ada rasa peduli yang besar.

Yah contohnya saja seperti hal kecil yang setiap paginya Sasuke lakukan. Mengetuk pintu kamar tidurnya dan berucap, “Aku membawakanmu sarapan.” Atau pula usapan kepala Sasuke dikepalanya yang memberikan semangat tanpa harus berucap. Atau mata berlian hitamnya yang menatap Sakura lamat-lamat dalam diam.

Bukankah, hal-hal kecil seperti itu yang seharusnya Sakura perhatikan? Membuat rasa senangnya membuncah dan dia pun bisa melupakan sejenak beban yang membebani kedua pundaknya. Melupakan sebentar saja fakta bahwa banyak kegilaan yang terjadi disekitarnya, memintanya agar segera mati dan tertidur dalam kehampaan yang abadi.

Bukankah itulah kebahagiaan yang Sakura cari? Hal-hal sederhana yang dilakukan oleh dua orang insan yang tengah saling jatuh cinta.

“Sasuke,” Sakura memanggil pria yang kini tengah duduk bersebelahan dengannya. Dihadapan mereka ada sebuah televisi yang sedang menampilkan film yang Sakura mainkan.

Sasuke hanya berdeham, matanya menatap lurus-lurus pada layar televisi.

“Kau tertarik pada filmku?” tanya Sakura heran saat Sasuke terlihat lebih tertarik menonton film dirinya ditelevisi ketimbang harus mendengarkan Sakura berbicara.

“Ada hal yang kupikirkan,” jawab Sasuke datar. Pundaknya dijadikan sandaran oleh Sakura. ini masih pukul sepuluh pagi dan keduanya memilih untuk bersantai layaknya manusia normal di ruang tengah dengan segelas teh hangat.

“Apa?” Sakura kian menyamankan dirinya didada Sasuke. Memeluk tubuh pria itu dari samping, lalu terkekeh kecil saat Sasuke ikut menyandarkan dagunya dikepala Sakura.

“Kenapa kau melakukan adegan di hutan mengerikan seperti hutan Aokigahara? Bukankah itu hutan angker? Apa kerennya dengan mengambil adegan disana?”

Sakura tertawa kecil. Itu kejadian sudah lama sekali, kenapa sekarang Sasuke baru peduli soal lokasi shooting-nya?

“Kau tak tahu genre film yang kumainkan waktu itu? Itu film horor. Jangan heran kenapa mengambilan adegannya dekat dengan tempat bunuh diri dikaki gunung Fuji itu. Itu agar suasananya lebih mendukung.”

Sasuke terdiam sejenak. Suara televisi mengisi keheningan antara Sakura dan Sasuke. Setelah agak lama, barulah Sasuke ber’oh’ ria.

“Aku juga ada hal kupikirkan, Sasuke.”

Sasuke menoleh, wajah datarnya terlihat tampan jika dilihat dari jarak sedekat ini. Bahkan Sakura yakin, hidun mereka bisa saling bersentuhan jika Sakura memajukan wajahnya sedikit lagi.

“Memikirkan apa?”

“Kau,” jawab Sakura cepat. Tangannya tak lepas memeluk tubuh tegap Sasuke erat. “Bagaimana kau bisa hidup lagi, sedangkan tubuhmu sudah dikubur dalam tanah? Apakah kau lahir dulu seperti anak kecil atau langsung dewasa seperti ini?”

Mausoleum [✔]Where stories live. Discover now