BAB 13

2.7K 164 0
                                    

Aru melepas pangutannya, ia memandang Ajeng. Wanita itu mengatur nafas sama seperti dirinya. Ia lalu mengecup kening itu dengan segenap perasaannya.

Ajeng merasakan kecupan Aru di keningnya. Ajeng melepaskan diri dari pelukkan Aru dan melangkah menjauh. Ia tidak percaya apa yang ia lakukan. Ia sudah menjadi wanita bodoh yang melakukan kepada laki-laki baru dikenalnya.

Ajeng memilih duduk di sofa, ia mengambil tisu mengusap bibir. Oh tidak, apa yang telah ia lakukan semua di luar kendali. Ciuman itu masih membekas diingatannya. Oke, ini bukanlah pertama kali ia berciuman. Bahkan ia sudah melakukan bersama mantan-mantannya terdahulu. Ajeng menjauhi Aru karena ia ingin menenangkan debaran jantungnya.

Ajeng tidak akan menyalahkan Aru dalam kecupan ini, karena ia juga membalasnya. Ia akui bahwa ciuman yang di lakukan Aru adalah ciuman terhebat yang pernah ia rasakan. Laki-laki itu seolah tahu apa yang diinginkan wanita. Aru memegang kendali, tidak terburu-buru, tapi melakukannya perlahan tapi pasti.

Aru berjalan mendekati Ajeng, wanita itu menyadari kehadirannya. Ia memandang iris mata bening Ajeng. Wanita itu mengalihkan pandangan ke arah jendela, tidak membalas tatapannya.


"Kita melakukan itu dalam keadaan sadar," ucap Aru tenang, menatap Ajeng. Ia tahu wanita itu marah atas apa yang ia lakukan.


"Aku tidak akan pernah meminta maaf dan aku tidak menyesal melakukannya. Aku yakin perasaan kita sama," ucap Aru lagi.

Ajeng menarik nafas, ia melirik Aru. Ia menggigit bibir bawah, mencoba memejamkan mata sejenak,

"Apa yang kita lakukan itu salah," ucap Ajeng, ia mengibaskan rambutnya ke belakang. Suasana mendadak gerah, oh Tuhan apa yang harus ia lakukan terhadap Aru. Laki-laki itu malah menuntut balik terhadap dirinya.

"Apanya yang salah, kita dua orang yang saling menginginkan,"

Ajeng menegakkan punggungnya ia berdiri memandang Aru dengan berani, "Ini bukan persoalan tentang saling menginginkan atau tidak !,"


"Ini masalah status, kamu adalah laki-laki yang memiliki kekasih. Tidak seharusnya kamu melakukanya, aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubungan kamu !,"


"Ingat ! aku sudah memperingatimu dari awal bahwa aku tidak ingin menjadi Daniar ataupun wanita di luar sana !," hardik Ajeng.

"Karena aku tahu bagaimana rasanya sakit hati, tolong menjauhlah dariku !," Ajeng berdiri ia melangkah mengambil tas yang ia letakkan di meja pantri.

Aru memandang Ajeng menjauh, ia mengejar langkah wanita itu dan meraih tangannya,

"Bagaimana jika aku tidak bisa menjauh darimu !,"

"Aku tidak peduli," ucap Ajeng.

"Bagaimana jika kita adalah dua orang yang ditakdirkan untuk bersama. Apa kamu masih mengelak itu, hah!"



Ajeng menahan amarah ia menggigit bibir bawah, memandang kilatan mata tajam Aru,

"Ingat !, Aku tidak ingin bersenang-senang atas penderitaan orang lain. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan kekasihmu, jika melihat keadaan kita seperti ini !,"

"Sadarlah, aku tidak ingin menjadi wanita egois !," ucap Ajeng emosi.

"Jika aku egois, aku tidak akan melepaskan Tatang begitu saja. Aku bisa saja merengek-rengek atau berpura-pura sakit keras agar dia tetap berada di sisiku,"

"Aku yakin jika aku melakukan itu, dia akan kembali kepadaku. Dia mengerti gimana aku, karena aku tidak selicik wanita di luar sana,"

"Aku tidak akan menjadi wanita jahat dalam kisah cintamu, buang jauh-jauh pikiran itu, bahwa aku akan menjadi kekasihmu !,"

"Kamu tahu ?, Tatang adalah laki-laki yang aku cintai. Dia laki-laki yang mengerti aku selama ini. Bahkan papi mengakui bahwa Tatang adalah laki-laki terhebat dalam hidupku,"

Ajeng berusaha melepaskan tangan Aru, tapi laki-laki itu masih menahannya. Oh Tidak, ternyata laki-laki itu masih bertahan dan tetap pada pendiriannya,

"Aku pernah dalam keadaan terpuruk, menangis seharian setelah orang tuaku resmi bercerai. Tatang lah yang menghiburku, dia lah laki-laki yang membuatku tertawa dan bangkit lagi,"


"Mami ku memutuskan menikah lagi dengan kekasih baru nya siapa yang menemaniku di hari pernikahannya, dia Tatang. Tatang yang menasehatiku, membuatku tenang, bukan kamu !,"


"Aku sudah membandingkan dirimu dan Tatang. Kamu dan dia tidak lah sama, aku tidak akan mungkin menerima laki-laki yang baru aku kenal. Terlebih dia memiliki kekasih, laki-laki seperti apa itu !,"

"Kamu sudah tahu, aku memiliki rasa dengan siapa?. Denganmu? Yang benar saja !,"


"Kamu tidak lebih dari Jo !,"

"Lepaskan tanganmu, aku mau pulang !," ucap Ajeng berusaha melepaskan tangannya. Ia sudah emosi seperti ini, ucapannya ngelantur kemana-mana. Sungguh ia hampir gila memikirkan ini.


Aru menarik nafas menggenggam jemari Ajeng. Ia tahu wanita itu emosi, ia tidak bisa memperparah keadaan ini. Ia berusaha mati-matian agar tidak tersulut emosi.

"Oke, aku minta maaf, aku bersalah. Lupakan apa yang telah terjadi. Anggap saja kejadian tadi adalah angin lalu," ucap Aru tenang, ia membawa Ajeng ke sofa dan mereka lalu duduk.

"Jangan bahas lagi tentang ciuman tadi, anggap saja kita sama-sama khilaf. Aku juga tidak membahas perasaan kita," Aru melepaskan tangannya memandang Ajeng yang hanya diam.

Sepertinya Ajeng bisa menerima ucapannya. Ia hanya ingin wanita ini tenang. Ia tidak ingin keberangkatannya ke Semarang batal hanya karena ciuman dahsyat tadi. Sepertinya wanita ini sensitif sekali jika membahas tentang orang ke tiga. Padahal tadi wanita itu tidak kalah agresif membalas lumatannya. Ia ingin tahu seberapa lama Ajeng bertahan di posisinya.

Aru tahu bahwa wanita itu masih belim move on dari sahabatnya bernama Tatang. Untuk apa dibahas lagi laki-laki sialan itu. Jelas-jelas laki-laki itu akan menikah dengan gadis pilihanya. Inginnya sih menyadarkan Ajeng bahwa terimalah kenyataan bahwa laki-laki itu tidak mencintainya. Ia tidak ingin berdebat terlalu banyak, karena ia takut akan bertindak brutal. Andai ia tadi tidak melepas pangutannya, sudah ia pastikan mereka berakhir diranjang.

Aru mengalihkan pandangannya ke arah kemeja yang di kenakan Ajeng. Kancing kemeja itu setengah terbuka. Ia bisa melihat bra berwarna putih di balik kemeja itu.

Aru menahan tawa, ia lalu mengancingkan kemeja Ajeng yang setengah terbuka itu, "Maaf," ucap Aru.

Setelah merapikan kancing baju, ia memandang Ajeng memohon pengertian agar tidak pulang,

"Aku buatkan teh hangat untuk kamu," ucap Aru lalu menegakkan punggungnya berjalan menuju dapur.

Ajeng hanya diam dan sebenarnya ia malu ketika Aru memasang kancing bajunya. Kenapa ia tidak sadar pakaiannya sudah terbuka. Ajeng melirik Aru, laki-laki itu di dapur sedang membuatkan teh hangat untuk dirinya.

Semenit kemudian, Aru membawa cangkir putih berisi teh hangat. Aru meletakkan cangkir itu di meja, ia meraih remote tv. Seketika tv menyala, ia mencari siaran musik agar suasana kembali tenang.

"Kita tunggu Rama datang, setelah itu aku akan mengantar kamu pulang,"

"Iya," ucap Ajeng kikuk.




********

MY LOVE MY CEO (SELESAI)Kde žijí příběhy. Začni objevovat