BAB 18

2.6K 170 0
                                    

Ajeng membuka mata secara perlahan, awalnya kabur lama kelamaan ia memfokuskan penglihatannya. Ini adalah tidur ternyenyak yang pernah ia rasakan. Ia memandang ke arah jendela, gorden tertutup rapat, padahal tadi malam ia membuka gorden itu. Ia yakin Aru lah yang menutupnya, agar cahaya matahari tidak masuk. Ajeng merenggangkan otot tubuh, lalu merubah posisi tidur menyamping. Sungguh ia masih malas untuk beranjak dari tempat tidur. Ajeng mendengar suara pintu terbuka, lebih tepatnya dari arah kamar mandi, ia memandang Aru di sana. Handuk putih itu melingkar di sisi pinggang Aru,

Aru membalas pandangan dan lalu tersenyum,

"Sudah bangun ternyata," ucap Aru berjalan mendekati jendela, dia lalu membuka gorden, agar cahaya matahari masuk.

"Iya sudah," ucap Ajeng, memandang ke arah jendela, sepertinya matahari sudah mulai tinggi.

Aru mengeringakan rambut dengan handuk, lalu duduk di sisi tempat tidur. Aru memandang Ajeng yang masih di posisi yang sama. Aru mendekatkan wajah, melumat bibir tipis itu sekilas. Sekarang ia tidak canggung lagi melumat bibir Ajeng kapan saja. Toh, wanita itu memberi akses lebih untuk mencumbunya.

Ajeng tersenyum mendapat kecupan di pagi hari oleh Aru. Ah, laki-laki ini selalu membuat terlena dengan sentuhannya. Ekspetasi enggak terima di perlakukan seperti ini, tapi nyatanya ia sangat menyukai prilaku Aru yang spontan dan tanpa basa basi.

Aru melepas kecupan, ia mengusap wajah cantik Ajeng, "Kamu tahu? Ini rekor tersiang aku bangun," ucap Aru.

Ajeng menegakkan punggung, bersandar di sisi tempat tidur, "Emang ini jam berapa?" Tanya Ajeng, ia bersyukur bahwa pakaian yang ia kenakan masi lengkap. Toh tadi malam mereka hanya melakukan ciuman yang panjang tidak lebih.

"Jam sembilan,"

"Owh kirain jam brapa, masih jam sembilan kok," ucap Ajeng, merapikan rambut dengan jemarinya.

"Tadi kamu bangun jam berapa?" Tanya Ajeng, ia menegakkan punggungnya lalu berdiri, ia menggulung rambut hingga ke atas.

"Setengah jam yang lalu," ucap Aru, ia mengambil celana dalamnya di atas meja. Sepertinya ia tidak perlu bersikap malu lagi hadapan Ajeng, karena wanita itu terlihat nyaman di dekatnya.

"Kok enggak bangunin aku sih," ucap Ajeng, ia meneguk air mineral di dalam gelas. Ia melirik Aru, yang berjalan mendekatinya.

"Aku enggak tega bangunin kamu, karena tidur kamu nyenyak sekali,"

Ajeng menelan ludah melihat penampilan Aru, baru bangun ia sudah disuguhi pemandangan yang membuatnya meleleh. Ajeng masih menggigit bibir bawah, sepertinya menggigit bibir bawah merupakan kebiasaan baru dirinya jika berhadapan dengan Aru.

Aru menarik pinggang Ajeng merapat ke tubuhnya, ia mengambil air meneral dari tangan Ajeng yang sisa setengah dan meneguk habis tidak tersisa. Lalu meletakkan gelas itu di meja, Aru menatap wajah Ajeng. Alis itu terukir sempurna dan wajah itu tanpa sapuan make up. Ia akui tanpa make up pun, Ajeng memang cantik. Ia merasakan hembusan nafas Ajeng di permukaan wajahnya.

"Kamu mau apa hemmm," gumam Ajeng, ia menyentuh dada bidang Aru secara perlahan.

"Mencium kamu, mungkin," ucap Aru tenang.

Ajeng tersenyum, ia melingkarkan tangannya di leher Aru. Ia menyentuh rambut Aru yang masih lembab,

"Aku belum sikat gigi, jadi nanti saja," ucap Ajeng mengedipkan mata menggoda Aru. Oh Tidak, ia sudah seperti wanita binal jika seperti ini.

Aru lalu tertawa melihat Ajeng menggodanya, sehingga Ajeng merasakan getaran dari tubuh Aru. Aru mengangkat tubuh Ajeng duduk di meja. Ia mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Ajeng dengan segenap perasaanya. Sedetik kemudian Aru melepaskan kecupan itu,

"Tidur kamu nyenyak,"

Ajeng mengangguk, "Iya,"

Lama terdiam saling berpandangan satu sama lain. Entahlah apa yang ada di dalam pikirannya, Ajeng lalu memeluk tubuh Aru. Mengecup punggung bidang itu sekilas, Aru membalas pelukkan Ajeng.

"Makasih ya, udah ajak aku ke Semarang," ucap Ajeng.

"Hemmmmm," gumam Aru, ia mengelus punggung Ajeng. Ia bahagia Ajeng memeluknya seperti ini.

"Jujur ini adalah pagi paling romantis, yang pernah aku rasakan,"

Ajeng melonggarkan pelukannya, ia memandang wajah tampan Aru. Ia tidak yakin akan bertemu dengan laki-laki ini lagi. Karena laki-laki ini telah memberi warna baru dalam hidupnya. Ia akan mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya, agat hatinya lebih tenang.

"Aku ingin kamu tahu, apa yang aku rasakan selama aku mengenalmu beberapa hari ini," ucap Ajeng.

"Hemmm," Aru mulai mendengarkan, apa yang akan disampaikan oleh Ajeng.

"Jika tidak ada adegan tabrakan kemarin, aku tidak mungkin berada di sini,"

"Jujur aku bahagia mengenalmu, Aru,"

"Kamu memberi pengalaman yang tidak mungkin aku lupakan,"

"Mengajakku perjalanan jauh dengan motor keren mu,"

"Lalu kamu menciumku,"

"Kamu tahu? Setiap ada di dekatmu jantungku sering tidak bisa di ajak kompromi, ya sedikit berdebar-debar. Mungkin aku seperti anak ABG yang sedang jatuh cinta,"

"Aku suka lihat alis tebalmu, mata tajammu, rahangmu yang tegas dan tubuhmu yang sexy. Wanita mana yang tidak akan jatuh dipelukkanmu. Aku tidak munafik, karena aku termasuk wanita dalam golongan itu,"

Ajeng menarik nafas memandang wajah Aru, laki-laki itu hanya diam dan mendengar ucapannya.

"Aku memuji kamu karena aku wanita normal yang masih menyukai laki-laki seperti kamu,"

"Aku suka kecupanmu, pelukanmu, dan sentuhanmu semua terasa menenangkan,"

Ajeng menyentuh rahang Aru, merasakan bulu-bulu halus yang tumbuh di sana, walau teksturnya sedikit kasar, ia menyukainya.

"Mungkin hari ini aku akan melupakan bahwa kamu laki-laki memiliki kekasih, agar aku bahagia,"

"Jika suatu pagi, aku tidak melihatmu lagi, maka aku akan melihatmu di sini," ucap Ajeng menunjuk dada kirinya.

"Besok atau lusa mungkin kita tidak akan bertemu lagi, maka kenanglah aku,"

"Mungkin aku bukan jenis wanita yang menarik, tidak secantik kekasihmu, tapi masukkan aku ke dalam daftar wanita yang sudah kamu bahagiakan,"

"Jika kita bertemu lagi, entah dimana dan kapan, sapalah aku agar kita bisa menceritakan kenangan itu,"

"Terima kasih sudah memberi hari seindah ini," ucap Ajeng.

Aru mencerna kata-kata dari bibir tipis itu. Kata-kata itu bukanlah kata-kata indah seperti tadi malam dia ucapkan. Ucapan Ajeng lebih mengarah sebuah kata-kata perpisahan. Ia tidak suka pembicaraan ini, sehingga membuat hatinya sesak dan sulit bernafas. Ia masih belum siap untuk berpisah secepat ini, karena ia baru saja akan memulainya.

Aru menarik nafas, ia mengusap wajah cantik Ajeng, ia tidak bisa berkata-kata. Ia menahan amarah agar emosinya tidak meledak, pikirannya berkecamuk, melihat keadaan ini. Ia tahu bahwa besok wanita itu akan pergi,

"Mandilah, setelah itu kita sarapan," ucap Aru, melepas pelukannya.

Aru mengambil kaos hitam dan celana pendek di atas meja. Ia mengikat rambutnya secara sembarang. Aru melirik Ajeng, wanita itu masih di posisi yang sama.

"Aku pergi keluar sebentar," ucap Aru meninggalkan Ajeng begitu saja.

Sementara Ajeng memandang tubuh Aru menghilang dari balik pintu. Ajeng lalu menepis air mata yang jatuh dengan sendirinya. Mungkin laki-laki itu merasakan apa yang ia rasakan. Oh Tuhan, kenapa semuanya bisa seperti ini.

********

MY LOVE MY CEO (SELESAI)Where stories live. Discover now