BERBEDA

717 63 7
                                    

Selamat membaca

Mereka bertanya bagaimana pengalamanku soal cinta dan aku hanya membalas dengan senyum. Aku tidak punya pengalaman yang benar benar pengalaman soal cinta. Selama hidupku aku baru sekali merasakan jatuh cinta, menyukai seseorang, menaruh hati padanya, dan orang itu adalah sahabatku.

Aku tidak punya keberanian untuk mengatakan kepadanya tentang perasaanku. Ada banyak hal yang aku harus pikirkan dengan benar. Ada banyak kemungkinan - kemungkinan buruk yang akan aku terima. Ini sedikit berbeda dari kebanyakan yang orang lain pernah alami. Rasanya sama namun dengan orang yang salah. Rasa itu ada untuk seorang lelaki.

Tidak dengan mudah aku menerima semua ini. Sudah terlalu banyak penolakan dari pikiran dan hatiku. Menolak perbedaan ini. Menolak rasa yang menurut orang banyak adalah salah. Namun seberapa banyak pun aku menolak, rasa itu tetap muncul. Aku mencoba untuk berdamai dengan hati dan pikiranku. Menerima semua keganjilan ini. Menerima bahwa aku berbeda.

.
.
.

"Bagaimana dia bisa membalas cintamu kalau kau tidak mengatakan padanya." Kau berdecak sebal sambil menatap layar ponselmu.

Sore itu kita duduk di cafe dekat kampus. Hujan turun cukup deras. Kita menunggu air bumi itu berhenti jatuh dari langit sambil menikmati kopi hangat dan berbincang - bincang.

"Apa?" Tanyaku tidak mengerti.

"video ini. Aku pikir wanita ini juga salah. Jika dia suka katakan saja. Tidak perlu gengsi." Kau lalu mematikan ponselmu dan meminum frappucinomu yang tersisa setengah.

"Mungkin dia masih mencari waktu yang tepat." Balasku lalu tanganku terulur untuk mengambil biskuit di meja.

"Boleh saja tapi orang yang disuka bisa saja sudah menemukan orang lain. Jadi kalau kau suka pada orang katakan saja jangan sampai terlambat." Tangan itu terulur menepuk bahuku. Memberikan sebuah nasehat yang aku masih pikirkan sampai sekarang.

'Katakan saja' itu adalah dua kata yang keluar dari mulutmu tapi sangat sulit untuk aku lakukan. Haruskah aku katakan padamu kalau aku menyukaimu? Apakah setelah semua itu kita akan baik - baik saja? Apakah setelah kalimat pernyataan cinta itu keluar dari mulutku semua tetap sama? Apakah setelah itu kau akan menyambutku dengan suka cita? Dan aku tahu jawabannya adalah 'tidak'.

.
.
.

Persahabatan ini sudah terjalin sejak dua tahun lalu. Masih kuingat bagaimana kau menyapaku lebih dulu dan mengajakku berbincang. Masih sangat jelas diingatanku karena sepotong roti melon menjadi awal aku jatuh hati padamu. Roti melon yang manis seperti senyummu.

"Apa?" Tanyaku sekali lagi.

"Aku akan mengatakannya malam ini. Ah aku selalu terbayang bayang senyum manisnya." Kau tersenyum sambil membayangkan gadis pujaanmu.

Sore ini masih di cafe yang sama dengan sebelum - sebelumnya aku merasakan patah hati pertamaku. Kau akan mengutarakan perasaanmu padanya. Pada gadis dengan rambut panjang hitam dan senyum manis yang sudah lama kau dekati.

Hati ini tidak rela, hati ini sakit. Tanganku mengepal dibawah meja. Air mataku sudah hampir jatuh.

"Aku...." kau langsung mengalihkan pandanganmu padaku. Senyum itu masih melekat di wajahmu.

"Aku menyukaimu." Akhirnya kukatakan juga.

Perlahan senyum itu menghilang digantikan dengan kerutan didahimu dan pandangan tak mengerti.

"Bukan suka seperti biasa antara sahabat. Tapi romansa..." ucapku lirih sambil mencuri lirik padamu yang ada dihadapanku.

Tanpa mengatakan apapun kau berdiri. Tanpa memandang padaku kau pergi meninggalkan aku disini dengan rasa yang masih sama untukmu.

.
.
.

2 minggu sudah terlewati setelah kejadian itu. Kita tidak pernah saling bicara lagi. Kau terlihat menghindariku. Kita dekat tapi terasa jauh. Ini bahkan lebih sakit daripada jauh terpisah jarak.

Ada rasa menyesal dalam hatiku ketika menyadari betapa bodohnya aku yang mengikuti ego untuk mengutarakan perasaan ini padamu saat itu. Andai aku bisa menahan, andai aku tahu diri pasti kita masih bisa tertawa bersama seperti biasa.

Sepulang kuliah ini aku akan menahanmu, memperbaiki semua ini dan meminta agar kita kembali seperti semula.

Kau berjalan bersama teman - teman yang lain. Aku bisa nelihat senyumanmu dengan jelas dari sini. Aku rindu senyuman itu. Tak sengaja kau melihatku. Langkahmu terhenti membuat teman - temanmu bertanya. Kulihat kau berbincang sedikit pada mereka, sampai tak lama mereka pergi meninggalkanmu yang berjalan kearahku.

"Aku ingin bicara." Kau tak menatap mataku saat berbicara.

"Aku juga. Kau dulu." Tanganku mengepal kuat di samping tubuhku. Aku gugup.

"Jangan mengharapkan aku lagi." Ucapmu dan mulai memandang wajahku.

"Iya aku akan lakukan itu. Kita bisa perbaiki semua ini dan kemba--"

"Aku tidak bisa." Kau memotong ucapanku.

"Aku tidak bisa seperti dulu lagi. Bagaimana pun kau berusaha memperbaiki, semua sudah tidak sama. Aku tidak bisa memandangmu dengan benar lagi. Maaf tapi menurutku lebih baik kita menjauh." Ini bahkan lebih menyakitkan daripada ditinggal tanpa kata - kata seperti waktu itu.

Aku tak bisa berkata apapun lagi. Hanya berdiri diam dihadapanmu dengan tangan terkepal menahan tangis.

"Maaf Siwat. Aku tidak bisa bersama melengkapi kisah cintamu. Ku harap kau menemukan yang lebih baik." Setelahnya kau berbalik pergi menjauh meninggalkan aku dengan segala luka.

.
.
.

Aku berbalik berjalan pelan tanpa tenaga. Menunduk berusaha menyembunyikan air mata yang sudah menetes dipipi. Cinta pertama yang benar - benar menyakitkan.

Langkahku terhenti saat sebuah sepatu hitam menghalangiku. Mengangkat kepalaku dan mendapati sebuah senyuman kecil dari lelaki yang beberapa bulan ini selalu datang mendekat.

"Minggir, aku mau pulang." Ucapku lemah.

Dia mendekat kepadaku. Tangannya terangkat untuk menghapus jejak air mata yang ada dipipiku ini.

"Jangan menangis karena kau menjadi sangat jelek. Aku serius tentang menjadi jelek." Dia lalu mengelus sudut mata kiriku membuat aku secara reflek menutup mata.

"Perth, rasanya sangat sakit." Adu ku padanya. Mataku kembali berkaca - kaca siap menumpahkan isinya.

"Tak apa. Kau tidak bisa memaksakan dia menjadi sepertimu, seperti kita." Dia tersenyum. Tangannya meraih pundakku untuk dirangkul.

"Maka dari itu harusnya kau bersamaku saja. Phi sih tidak mau." Dia mulai pura - pura merajuk.

Aku mendengus sebal. Anak ini selalu saja bercanda bahkan disaat serius seperti ini.

"Aku tidak bercanda." Dia seperti bisa membaca isi kepalaku.

"Aku sudah berulang kali mengatakannya tapi kau masih saja memuja muja si biru itu." Dia melepaskan rangkulannya dariku dan mulai berjalan mundur sambil menatapku.

"Apa?" Tanyaku pelan

"Aku serius." Dia menatap tepat ke mataku. Aku melihat kesungguhan disana.

Langkahku terhenti membuat dia ikut berhenti didepanku.

"Kau tau kan dia masih ada di hatiku. Aku... perlu waktu untuk bersamamu." Aku bisa melihat dia tersenyum kecil.

"Aku paham. Asalkan kau mau menerima semua limpahan sayangku aku tidak masalah menunggu sampai si biru itu menghilang dari sana." Ucapnya sambil menunjuk pada dada sebelah kiriku.

Aku tertawa kecil lalu mengangguk tanda setuju. Dia sudah tersenyum lebar dan mulai merangkulku kembali untuk berjalan pulang.

"Jadi mau makan apa sore ini hmm?" Kami mulai melangkah keluar dari kampus.

Tidak ada salahnya mencoba mencintai seseorang yang benar benar mencintaimu. Akan terasa lebih manis dan indah ketika kau sangat dicintai.

Semesta memang tidak membenarkan orang sepertiku tapi biarkan aku menikmati semuanya, membahagiakan hatiku dengan cara yang salah ini sampai nanti jika sudah saatnya untuk berhenti.

END



PERTHMARK (OS & FICLET COLLECTION)Where stories live. Discover now