Chapter 11

262 56 24
                                    

Lagunya cocok nih, coba Play siapa tau suka sama lagunya:)

═════  ࿇  ═════

Suara knalpot berderum begitu bising terdengar semakin mendekat ke arah lelaki yang kini terduduk lemas di gang kecil. Lelaki itu menahan sakit yang teramat hingga membuat sebagian sarafnya mati rasa. Luka sayatan pisau kecil di bahu kanannya membuatnya mati rasa ketika pisau kecil itu berhasil melesat dan menyayat puncak bahunya hingga perlahan darah segar merembes keluar.

Darah merembes dari hoodie hitamnya, nafasnya tersenggal akibat kelelahan juga banyaknya darah yang keluar meskipun kesadaran tetap menemaninya. Orang yang sedari tadi ia tunggu kedatangannya, akhirnya sampai juga dengan raut wajah pucat melihat kondisinya yang parah.

Dengan cepat lelaki itu turun dari motornya dan menghampiri Dervan dengan panik.
"Sialan! Dervan! Tolol ya lo gue tanya keadaan lo tadi jawabannya gapapa. Tapi apa ini?!" rutuknya kesal dan panik.

"Bacotnya nanti aja, bego! kalo gue bilang yang sebenernya, nanti di jalanan lo kesurupan ghost rider," balas Dervan datar menyembunyikan rasa sakitnya.

"Aduh anying! tau gini gue bawa mobil dari rumah. Ga yakin gue, kalo lo bisa nahan tubuh lo sendiri di motor gue," ujar Dervin frustrasi.

"Kelamaan! ga usah lebay, buru anterin gue ke RS!" balas Dervan berdecak jengah.

Tanpa banyak bicara lagi, ia segera menopang tubuh Dervan untuk naik ke atas motornya. Dengan cepat Dervin menaiki motornya dan segera melajukannya menuju rumah sakit.

Dervin memegang lengan Dervan yang berpegangan pada tangki bensin ketika ia merasakan tubuh Dervan semakin melemas.
"Van, bertahan Van! jangan tutup mata lo! jangan bikin gue makin panik!" ujar Dervin sedikit berteriak sangat khawatir dengan kondisi kakak kembarnya sekarang.

"Lebay lo! gue gapapa. Fokus aja Vin ke jalanan," balas Dervan yang terdengar samar oleh Dervin.

Dervin menaikkan kecepatan motornya agar cepat sampai ke rumah sakit. Menyelinap beberapa kendaraan dengan begitu lihai, prioritas utamanya adalah kondisi Dervan.

Sesampainya di rumah sakit, Dervan langsung mendapat penanganan dari tim medis. Ia duduk bersandar dengan pikiran tak tenang di depan pintu ruangan di mana Dervan ditangani. Ponselnya bergetar di sakunya, ia menjawab panggilan itu yang merupakan panggilan dari Dery.
"Hallo!"

"Vin, lo di mana?"

"Kenapa? mau bahas soal masalah tadi?"

"Ya, lo di mana? biar gue samperin sama Daffa,"

"Bukannya Daffa kecewa sama gue? lebih baik jangan temuin gue dulu sebelum lo pada maafin kesalahan gue."

"Vin, biar kelar sekalian lo kasih tau posisi lo. Daffa mau bicara langsung,"

"Sorry, gue ga bisa ketemu lo berdua sekarang. Situasinya ga mendukung. Lebih baik jangan dilebarin masalah Daffa sama gue. It's ok, Der. Lupain semuanya, anggap aja masalah tadi cuma sebagai hiburan pengujian seberapa kuatnya kita saling percaya," balas Dervin yang langsung ia putuskan sambungan secara sepihak.

Dervin menghembuskan nafasnya lelah. Ia sangat kacau, dengan gemetar ia menimbang menatap nomor ponsel yang ia beri nama 'Mom'. Namun ia memang harus memberi kabar, orangtuanya perlu tau bahwa salah satu anaknya celaka. Panggilan berdering namun tak ada jawaban, beberapa kali ia mengulanginya tetap saja tak ada jawaban hingga membuatnya mengerang menahan emosi. Airmatanya luruh, hatinya terlalu halus. Cukup dirinya saja yang ditelantarkan, tapi jangan dengan Dervan yang sekarang tengah terbaring lemah di dalam ruangan berbau obat itu. Meskipun Dervan sebenarnya tidak terlalu membutuhkan kehadiran orangtuanya yang selalu sibuk.

No Leader! || ✔️Where stories live. Discover now