7. Kisah :: 2 November 2008

73 1 0
                                    

Jangan lupa vomments :))

Selamat membaca :))

Lamongan, 2 November pukul 06.40 WIB

Ayah tidak seperti Ayah yang kukenal. Aku menyadarinya pagi ini. Padahal semalam aku berpikir mungkin Ayah sedang banyak pikiran dan membutuhkan pelampiasan emosi untuk sejenak. Namun, kesimpulanku hilang ketika Ayah meminta Ibu untuk membuatkan kopi dengan nada yang membentak.

Ibu, yang memang pada dasarnya memilik hati yang lembut langsung menuruti perintah Ayah. Tak membutuhkan waktu yang lama, Ibu memberikan secangkir kopi panas pada Ayah.

Ketika itu aku yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi hanya bisa menghentikan kegiatanku menyuapkan sesendok nasi goreng buatan Ibu saat Ayah entah sengaja atau tidak, menyemburkan kopi ke wajah Ibu.

"Kamu mau ngeracunin aku? Pahit banget," protes Ayah.

Ibu menunduk, merasa bersalah. Sedangkan Ayah yang merasa tak puas lantas membanting cangkir kopi itu hingga menimbulkan suara kaca pecah yang memekakkan telinga.

Ibu dan aku terkejut. Bedanya, jika Ibu segera mengambil pecahan cangkir itu, aku hanya bisa menangis kencang. Aku takut pada Ayah. Aku rasa, Ayah berbeda.

Ayah menanggapi tangisanku dengan sorotan mata yang tajam lalu dia bangkit dari duduknya, menghampiriku lalu mencengkram daguku erat.

"Kenapa nangis? Ha?" tanyanya.

Ibu turut menghampiriku kemudian melepaskan cengkraman tangan Ayah di daguku. "Kamu kenapa, sih?"

"Kamu jangan ikut campur."

"Itu Wulan, Mas. Anak kamu," kata Ibu.

Ayah menghela nafas berat. Tak menjawab ucapan Ibu, Ayah berlalu dan masuk ke kamar. Meninggalkanku dan Ibu yang tengah menahan tangis. Aku tahu dari kedua mata Ibu yang berkaca-kaca.

Ibu memelukku, lalu berkata, "Maafin Ayah, Nak."

Tbc

10 Juni 2020
Tertanda,

Erina Putri

Akan Kuceritakan Semua Tentangku [COMPLETED]Where stories live. Discover now