28. Kisah :: 11 Maret 2017

33 1 0
                                    

Selamat membaca :))

Lamongan, 11 Maret 2017 pukul 19.23 WIB

Aku tidak tahu bagaimana mulanya hubunganku dengan adikku, Damar, bisa menjauh. Renggangnya hubungan kami berhasil membuatku sedikit melupakan kejadian menakutkan yang terjadi padaku beberapa hari yang lalu. Meskipun aku terkadang masih mengingatnya di saat aku sendirian, tetapi fakta jika Damar menghindariku itu tetap jadi fokus utamaku. Aku tidak tahu pasti, yang jelas, dia selalu berusaha menghindariku atau meminimalkan interaksi denganku. Biasanya dia selalu bermanja padaku tak kenal waktu. Apapun dia lakukan untuk menarik perhatianku.

Sekarang, alih-alih ingin menarik perhatianku, dia saja enggan menjawab pertanyaanku dan memilih pergi. Aku tidak menyerah begitu saja. Berhubung ibu ke rumah paman untuk menjemput emak yang sejak pagi tadi di sana, aku harus memanfaatkan dengan baik kesempatan ini untuk mengobrol dengan adikku.

"Dik, mbak mau ngobrol sebentar," kataku sembari mengambil duduk di sampingnya yang sedang duduk di tikar depan tv.

Damar tidak menjawab, dia masih fokus dengan layar tv kecil yang ada di depannya. Tanpa memperhatikanku sama sekali. Seolah aku tidak ada.

"Kamu marah sama mbak? Atau mbak ada salah?"

Seperti yang sudah-sudah, dia mengabaikanku. Aku lantas mengambil tangannya untuk aku genggam. Belum dua detik aku memegangnya, dia sudah terlebih dahulu menepis tanganku. Tentu saja aku terkejut. Dia bukan seperti Damar yang aku kenal.

"Dik, mbak salah apa sama kamu sampai kamu gini sama mbak?"

"Mbak nggak capek bohong terus?" tanyanya, mengejutkanku.

Sumpah. Aku tidak menyangka Damar akan menanyakan hal itu untuk pertama kalinya setelah berhari-hari dia tidak mau berinteraksi denganku. Aku mendekat, menatapnya dengan dahi berkerut. Sedangkan Damar, dia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Maksud kamu apa, Dik?"

"Mbak, ayo jujur sama ibu. Dia bukan orang baik, Mbak."

Dia. Panggilan itu membawaku ke satu objek pasti. Om Handoko. Entah apa yang membuatku kalut waktu itu. Apakah karena ketakutanku atau kekhawatiranku sendiri, aku mencengkram kedua pundak Damar.

"Kamu jangan melakukan hal ceroboh, Dik. Sampai mana kamu tahu?"

"Sampai aku tahu rasa sakit yang Mbak rasakan. Ayo Mbak kita bilang ibu."

"Kamu mau ibu bahagia, kan?"

Damar tanpa ragu mengangguk.

"Maka rahasiakan, Dik. Mbak mohon. Biarkan semua Tuhan yang berkehendak. Mbak nggak mau ibu kehilangan kebahagiaannya lagi. Sebentar. Mbak butuh waktu sebentar saja. Mbak mohon, Dik," pintaku.

Belum sempat Damar menjawab, seseorang mengucap salam dari luar rumah. Ibu nampak dari balik pintu bersama dengan emak. Damar dan aku lantas menjawab salamnya. Perlahan tapi pasti, Damar mendekati ibu. Aku menatapnya sendu, berusaha memberikan kode mata padanya agar menyimpan rahasia itu di antara kami.

Damar berulang kali menatap ibu dan aku bergantian. Dia tampak ragu, setelah beberapa detik dia kemudian berkata, "Bu, Damar capek, Bu. Damar pengen kita semua bahagia, Bu."

Tbc

23 September 2020
Tertanda,

Erina Putri

Akan Kuceritakan Semua Tentangku [COMPLETED]Where stories live. Discover now