26. Kisah :: 1 Maret 2017

35 1 0
                                    

Jangan lupa vomments💫

Selamat membaca

Lamongan, 1 Maret 2017 pukul 06.43 WIB

Matahari terus beranjak naik, biasanya aku lantas pergi ke sekolah sembari menghirup udara segar pagi hari di pedesaan. Namun hal itu tidak terjadi pada kali ini. Aku masih bergelung di balik selimut bergambar donald duck, kartun favoritku. Terdengar ibu berkali-kali memanggilku tetapi tak ku hiraukan. Aku memilih untuk memejamkan mata, hingga pintu kamarku terbuka.

"Wulan kenapa kamu belum bangun? Ayo bangun nanti kamu terlambat," kata ibu sembari mengguncang pelan bahuku. "Ada apa, Nak?" tanyanya lantaran tak mendapati responku.

"Wulan nggak enak badan, Bu."

Ibu lantas meletakkan telapak tangannya di dahiku. "Badan kamu panas banget, Nak. Ibu nganterin adik kamu dulu ya baru ibu bikinin bubur sama teh. Nggak apa-apa kan, Nak?"

Aku hanya sanggup mengangguk sebagai jawaban.

Ibu lantas keluar kamar, meninggalkanku bersama dengan berbagai macam perasaan yang mendera. Ada perasaan bersalah, kecewa dan takut. Semuanya tertuju pada satu objek, yaitu ibu. Aku tidak bisa membiarkan ibu berinteraksi dengan pria itu. Seorang pria yang membuat luka dalam padaku, bahkan ketika luka yang lain belum sembuh. Aku hanya takut ibu akan terluka.

Sepeninggal ibu, aku banyak merenung dan merutuki diri sendiri. Memikirkan bagaimana aku akan menghadapi dunia selanjutnya? Bagaimana aku bisa bertahan? Dan mengapa kemarin aku hanya membiarkan?

Pikiran-pikiran itu terus berlanjut sampai ibu datang kembali ke kamar sambil membawa semangkuk bubur dan segelas teh hangat.

"Ayo makan dulu, ibu suapin."

"Ibu nggak kerja?"

Ibu tersenyum hangat. "Ibu udah izin sama Mas Handoko kalau ibu telat dan udah diizinin juga. Katanya, kesehatan kamu lebih penting," jelasnya.

Mendengar nama dari sumber mimpi burukku disebut, tanganku bergetar. Perlahan tapi pasti, keringat dingin membanjiri sekitar wajah dan tanganku. Ibu yang menyadari hal itu lantas menanyakan keadaanku.

Tanpa menjawab, aku menangis histeris. Membuat ibuku semakin bingung menghadapi situasi ini.

"Wulan, kenapa, Nak? Ayo cerita sama ibu," ucap ibu sembari meletakkan kedua tangannya di bahuku.

Aku menatapnya dalam, mencari sebuah jawaban dari pertanyaan haruskah aku menceritakannya pada ibu? Lama aku menangis tanpa memberikan respon, aku akhirnya menyerah. Aku memeluk ibu erat, seolah mencari perlindungan.

"Ibu, maafin Wulan."

Ya, hanya tiga kata itu yang mampu aku ucapkan.

Tbc

20 September 2020
Tertanda,

Erina Putri

Akan Kuceritakan Semua Tentangku [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang