22. Kisah :: 27 Januari 2017

47 1 0
                                    

Jangan lupa vomments

Selamat membaca :))

Lamongan, 27 Januari 2017 pukul 18.05 WIB

Secepat itulah waktu terus berjalan. Secepat itu pula semua berubah. Statusku kini menjadi salah satu pelajar SMP Negeri di Lamongan. Meskipun awalnya berat sejak perceraian dan ada sedikit konflik antara kedua orang tuaku, perlahan semuanya mulai terselesaikan. Terkecuali dengan notaben 'gila' yang disematkan padaku, tatapan orang-orang, dan bully-an yang selalu datang menghampiriku di sekolah.

Adikku, Damar, kini menjadi murid TK. Kakekku dari ibu, yang kupanggil bapak, meninggal dunia dua tahun yang lalu. Memang, manusia tidak bisa menduga-duga apa yang akan terjadi padanya di masa depan. Karena itu juga, satu-satunya kakak laki-laki dari ibuku yang dulu merantau di Kalimantan memutuskan untuk menetap di Lamongan demi membantu ibu untuk menjaga nenek.

Pamanku tinggal satu desa dengan kami, hanya saja di rumah yang berbeda. Paman membeli sepetak tanah untuk rumah yang dia tinggali bersama satu istri dan dua anaknya. Kedua sepupuku sudah besar. Yang paling tua sekarang sudah kuliah semester 4 di Surabaya. Sedangkan adiknya, siswi kelas 3 di salah satu SMA Negeri di Lamongan.

Sedangkan ibuku bisa membiayai sekolah adikku dan aku dengan bekerja sebagai buruh pabrik di salah satu pabrik merk sepatu dan sandal di Lamongan. Gajinya alhamdulillah cukup untuk menghidupi kami. Aku sadar, ibuku telah menjadi orang hebat lantaran menjadi sosok ibu rumah tangga sekaligus tulang punggung keluarga kami.

Hingga malam itu, ibu pulang diantarkan oleh seorang laki-laki. Kalau dari rupanya, aku menebak umurnya akhir tiga puluhan. Ibu mempersilahkan dia masuk ke rumah. Memperkenalkan laki-laki itu pada adikku dan aku. Kata ibu, itu adalah atasannya, namanya Handoko. Penilaianku pertama kali adalah orangnya cukup ramah pada kami. Apalagi pada emak. Dia bertutur kata sopan.

Usiaku memang bukan usia yang bisa dibohongi begitu saja. Aku bisa tahu kalau ibu dengan laki-laki itu memiliki hubungan spesial. Bagaimana mungkin ibu yang notabennya selalu mempedulikan omongan orang lain berani membawa seorang laki-laki ke rumah apalagi memperkenalkan pada anak-anaknya dan orang tuanya jika tidak memiliki hubungan spesial?

Sebenarnya sejak lama aku bilang ke ibu jika ibu membutuhkan sosok suami yang menyayangi dan akan melindunginya. Ibu hanya menanggapinya dengan senyuman sambil menjawab, "Doakan saja, ya. Ibu mau fokus sama Wulan dan Damar saja dulu."

"Ini untuk kalian berdua. Buat jajan," kata Pak Handoko, laki-laki yang tadi dikenalkan ibu padaku dan adik seraya memberikan masing-masing selembar uang lima puluh ribuan pada kami.

Tentu saja, adikku meloncat kegirangan. Aku yang tahu harus mengucapkan terima kasih lantas mengucapkannya.

"Nggak perlu repot-repot, Mas," tolak ibuku.

"Nggak Papa, Mirnah. Aku kan ngasih ke Wulan sama Damar. Mereka anak pintar," ucapnya sebelum dia pamit untuk pulang.

Beberapa waktu kemudian bahkan hingga sekarang, aku menyesali kenyataan bahwa aku pernah merestui ibuku untuk berhubungan dengan laki-laki itu. Dan itu adalah salah satu penyesalan terbesarku. Serta awal dari mimpi burukku yang lain.

Tbc

9 Agustus 2020
Tertanda,

Erina Putri

Akan Kuceritakan Semua Tentangku [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang