27. Kisah :: 5 Maret 2017

37 1 0
                                    

Jangan lupa vomments💫

Selamat membaca

Hai teman-teman pembaca.
Jika kalian merasa kurang nyaman, kalian bisa bilang padaku. Jangan sungkan dan jangan segan. Selagi kalian punya rasa sopan, dengan senang hati aku akan menerimanya. Di part ini, jujur aku menangis ketika mengetiknya. Dalam hati aku bertanya, "Adakah hal yang lebih keji di dunia ini? Adakah orang yang seperti ini?" Dan ketika aku membaca kisah teman-teman di luar sana, aku tahu itu ada. Sebagai manusia, aku dibuat malu karenanya.

~Erina Putri~

Lamongan, 5 Maret 2017 pukul 09.05 WIB

Hari demi hari aku lalui dengan berat. Melihat ibu, adik, dan keluargaku yang selalu berada di sisiku semakin membuatku merasa bersalah. Menghindari interaksi dengan mereka aku putuskan sebagai jawaban yang tepat saat itu. Aku hanya keluar rumah jika sekolah dan ada hal mendesak lainnya. Oh bukan keluar rumah tetapi keluar kamar. Bahkan ketika adikku, Damar, datang ke kamarku, aku lantas menjaga jarak dengannya. Seolah-olah aku adalah sebuah benda najis baginya.

Wulan yang terkenal dengan sifat introvert-nya perlahan berubah menjadi Wulan yang anti sosial. Berjalan dengan menunduk dan selalu memasang sikap waspada. Hal itu juga berlaku pada orang-orang di sekitarku. Tak terkecuali kepada guru-guruku, terutama guru laki-laki. Aku merasa tidak aman jika berdekatan dengan lawan jenis.

Rupanya, kejadian waktu itu benar-benar menimbulkan efek yang luar biasa bagiku. Nafsu makanku menurun, tidak punya semangat hidup, bahkan tingkat konsentrasiku dalam belajar hilang entah kemana. Aku hanya bisa merutuki dan menyesali apa yang terjadi pada diriku. Dan ibuku peka akan hal itu.

Beberapa kali ibu datang membujukku untuk mengatakan alasan di balik semua ini. Tentu saja aku bungkam. Terlepas dari masalah yang aku timbulkan, aku bisa melihat dengan jelas ibu jauh lebih bahagia. Tidak hanya ibu, adikku dan keluargaku juga ikut bahagia. Aku tahu semua itu bersumber dari satu objek yang sama. Seseorang yang akan segera menggantikan posisi ayah di hati ibuku. Jelas aku tidak mau ibu terluka karena masalah yang aku timbulkan. Aku hanya bisa berharap jika ini yang terbaik untuk ibu, aku akan memilih menyimpan ini seumur hidupku dan mengenang kejadian buruk itu sendirian.

"Wulan, ada om Handoko datang. Ayo disapa dulu."

Nafasku tersekat dalam beberapa waktu. Aku menggenggam erat pulpen yang berada di tanganku, seakan sedang mencari kekuatan. Aku menutup mata sambil meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Wulan ada tugas penting, Bu, nggak bisa Wulan tinggal," elakku.

Ibu mendekat lalu memegang kedua bahuku. "Setidaknya sapa, Nak."

"Ibu sama Damar kalau mau pergi, pergi aja. Wulan aman kok di rumah. Lagipula Wulan lebih nyaman kalau sendirian."

"Ibu yang nggak bisa tenang kalau kamu di rumah sendirian. Ibu memang sebenarnya mau keluar sama Damar dan om Handoko, tapi ternyata ibu-ibu ada rombongan lihat Bu Tenah kemarin dibawa ke rumah sakit. Jadi ibu perginya nanti aja setelah jenguk Bu Tenah. Kamu jaga rumah ya, baik-baik sama Damar. Jangan ngerepotin om Handoko."

"Wulan di rumah sama Damar dan om Handoko?" Ibu mengangguk. "Damar sama Wulan ke rumahnya bibi aja, Bu," usulku.

"Di rumah bibi nggak ada siapa-siapa. Paman kan nemenin emak buat ke rumah saudaranya emak. Bibi ikut rombongan sama kayak ibu. Nah sepupu kamu kan ada kegiatan sama teman-temannya." Ibu mengusap puncak kepalaku. "Baik-baik ya di rumah," pesannya.

Ibu meninggalkanku tanpa memberikan kesempatan untuk aku menolak. Tak lama kemudian, Damar masuk ke dalam kamarku. Dia tidak sendirian, ada om Handoko menyusul di belakangnya. Sedangkan aku buru-buru menghindari tatapannya. Aku melafalkan doa, semoga semuanya baik-baik saja.

"Damar main di sini dulu ya, Mbak mau ke kamar mandi dulu," kataku menghindar.

Damar menjawab, "Iya, Mbak."

Aku mengambil langkah sambil menunduk, enggan melihat wajahnya yang terlihat seperti mimpi buruk bagiku. Sebelum aku benar-benar masuk ke kamar mandi, sebuah tangan menahan pintu kamar mandi yang setengah terbuka itu. Tanganku yang memegang handle pintu lantas bergetar. Belum juga aku menolehkan kepala untuk melihat siapa pemilik tangan itu, dia mendorongku masuk ke kamar mandi lalu dia membalikkan tubuhku, membiarkan punggungku terbentur dinding dan aku melihat wajahnya. Mimpi burukku.

"Kamu menghindari om?" tanyanya seraya menarikan jari telunjuknya dari pelipis turun ke dagu.

Aku menangkis tangannya, mencegah dia berbuat lebih. "Om jangan kurang ajar," ancamku.

Dia tersenyum miring. "Coba aja kalau kamu berani melawan."

"Tolong--"

Dia membenturkan kepalaku ke tembok, menyebabkan kepalaku berdenyut pusing. Tidak hanya sampai di situ, dia membungkam mulutku dengan tangannya, sedangkan tangannya yang lain menjambak rambutku kemudian mencelupkan wajahku ke dalam air di bak mandi. Dia menenggelamkan wajahku, membuatku sulit untuk bernafas. Rupanya, dia mencoba untuk melemahkanku.

Setelah dia rasa tenagaku cukup terkuras, dia menyalakan keran kamar mandi kemudian menutup pintu. Aku melakukan perlawanan berkali-kali. Namun berkali-kali juga dia berhasil menggagalkan perlawananku.

Saat itu juga air mataku mengucur deras, menyaksikan kejadian keji terulang kedua kalinya padaku. Tanpa aku menyadari, seorang bocah laki-laki bernama Damar yang tak lain adalah adikku sendiri berdiri di balik pintu yang tertutup itu. Dan dengan jelas, dia mendengar semuanya.

Tbc

23 September 2020
Tertanda,

Erina Putri

Akan Kuceritakan Semua Tentangku [COMPLETED]Место, где живут истории. Откройте их для себя