14. Kisah :: 14 November 2010

56 2 0
                                    

Jangan lupa vomments

Selamat membaca :))

Lamongan, 14 November 2010 pukul 10. 43 WIB

Akhir-akhir ini Ibu selalu mengajakku untuk mengobrol dengan calon adikku yang masih berada di perut Ibu yang kini mulai terlihat membesar. Aku cukup bersyukur, setidaknya dengan adanya janin di kandungan Ibu, Ayah tidak bersikap terlalu kasar pada Ibu. Walaupun begitu, omongan kasar Ayah masih belum hilang. Dia sering membentak Ibu bahkan tak jarang memukulku tanpa sepengetahuan Ibu.

Awalnya aku khawatir Ayah akan membahayakan kandungan Ibu. Namun kekhawatiranku tidak menjadi nyata. Sebagai gantinya, aku yang menjadi sasaran Ayah ketika di rumah. Bagiku tak apa-apa, asalkan calon adikku baik-baik saja. Lagipula semenjak Ibu mengandung, Ayah juga jarang pulang ke rumah. Ayah akan pulang jika dia merasa harus pulang. Ya, aku tidak berani bertanya pada Ayah dia pergi kemana.

Pagi itu seperti biasa Ibu membiarkan tanganku berada di perutnya. Ibu tersenyum cerah, membuatku ikut menerbitkan senyum tipisku. Tiba-tiba pintu diketuk dari luar, lantas Ibu membukanya.

Aku bisa melihat seorang perempuan yang mungkin berumur sekitar akhir 20 tahunan dengan mengenakan baju yang menurutku cukup terbuka berdiri di depan pintu. Dia menatap Ibu lekat lalu mengalihkan tatapan matanya padaku.

"Maaf, cari siapa ya?" Ibuku bertanya.

"Ini benar rumahnya Handoko?" Dia balik bertanya.

"Iya. Anda siapa?"

"Kamu istrinya?"

"Iya."

"Boleh saya masuk?" pintanya.

Ibu mempersilahkan perempuan itu untuk masuk ke dalam rumah dan kemudian duduk di kursi ruang tamu. Ibuku berlalu, hendak mengambilkan air minum. Sepeninggal Ibu, mata perempuan itu terlihat menjelajahi interior rumah. Yang kulihat, dia sesekali mengangguk-anggukkan kepala. Aku tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya.

"Silahkan diminum." Ibu bergabung kembali seraya meletakkan segelas teh hangat di meja. Ibu lalu mengambil duduk di sebelahku. "Mbak ada perlu apa ya kesini?" tanya Ibu, lagi.

"Saya akan jelaskan siapa dan ada perlu apa saya kesini. Tapi apa anda yakin membiarkan anak anda mendengarkan penjelasan penting dari saya?" Dia menatapku sembari mengangkat sebelah alisnya.

Penilaianku saat itu hanya satu. Dia nampak seperti pemeran Ibu tiri di sinetron tv yang tak sengaja kutonton kemarin.

"Wulan masuk ke kamar dulu ya, Nak."

Aku tak membantah. Langsung saja aku menuruti perintah Ibu. Kubiarkan pintu kamarku tak kututup rapat. Aku ingin mendengar penjelasan yang kata perempuan itu penting. Wajar saja, aku masih anak kecil dengan segudang tanda tanya di pikirannya. Kebetulan kamarku terletak paling dekat dari ruang tamu. Jadi, suaranya bisa terdengar jelas.

"Nama saya, Karina. Tujuan saya datang kesini sebenarnya saya ingin mencari suami anda. Dia pergi dengan meninggalkan harapan dan janji untuk menikahi saya."

Ibu terkejut, tentu saja. Aku juga. Rasanya aku ingin sekali berteriak padanya dan mengatakan kalau itu bohong. Namun ucapan dia selanjutnya melumpuhkan saraf-sarafku.

"Saya selama empat bulan terakhir menjalin hubungan dengan suami anda. Jujur saya sebenarnya tidak tahu kalau dia masih punya istri. Yang harus anda tahu, saya beberapa kali pernah tidur dengan dia." Dia merogoh tas kulitnya. Lalu mengeluarkann handphone dan menunjukkannya pada Ibu. "Saya tidak asal bicara dan ini buktinya. Sebenarnya saya tidak peduli dia pergi entah kemana. Hanya saja dia membawa uang modal bisnis saya dan saya rasa saya harus menemukannya," lanjutnya.

Aku tidak tahu pasti apa yang perempuan bernama Karina itu tunjukkan pada Ibu. Yang jelas Ibu memandang lekat layar handphone dengan air mata yang mengalir deras. Ibu sampai-sampai menggigit bibir bawahnya. Aku tahu Ibu melakukan hal tersebut agar meredam suara tangisnya.

"Maaf saya mengatakan ini kepada anda. Saya hanya berniat untuk memberitahu anda bagaimana kelakuan suami anda di luar sana. Mungkin selain saya, ada perempuan-perempuan lain yang sedang bermain dengan suami anda."

Dia mengambil handphone dan tasnya. Kemudian beranjak dari duduknya. "Saya rasa saya harus pamit. Ini kartu nama saya. Kalau suami anda pulang, anda bisa hubungi saya. Bilang ke dia, kalau dia tidak mengembalikan uang saya, saya bisa mengambil jalur hukum. Saya permisi."

Ketukan heels yang dia pakai terdengar semakin menjauh. Tak lama setelah itu, aku melihat Ibu merosot dari duduknya yang semula di kursi berganti di lantai. Ibu menangis tersedu-sedu. Menumpahkan tangis sembari menunduk. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku juga tak paham dengan permasalahan orang dewasa saat itu.

Satu kesimpulan yang kudapatkan adalah, lagi-lagi Ayah menyakiti hati Ibu. Kenyataan itu membuatku semakin menjauh dari Ayah. Faktanya, Ayah telah berubah.

Tbc

2 Juli 2020
Tertanda,

Erina Putri

Akan Kuceritakan Semua Tentangku [COMPLETED]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant