8. Kisah :: 2 November 2008

70 1 0
                                    

Jangan lupa vomments

Selamat membaca :))

Lamongan, 2 November 2008 pukul 19.20 WIB

Sejak kejadian pagi tadi, keadaan di rumah menjadi hening. Membuat hatiku ikut pengap. Ibu sibuk mencuci piring bekas makan malam, sementara Ayah terlihat seperti sedang mencari kesibukan. Dan dia melampiaskannya pada tv yang dia ganti-ganti channelnya. Biasanya kalau hari weekend, Ayah mengisi waktu libur mengajarnya dengan mengajakku belajar sambil bermain. Mengajariku menggambar dan mewarnai.

Menurutku, seniman yang paling aku hormati dan aku kagumi di dunia ini adalah Ayah. Sebenarnya aku sedikit bingung mengapa Ayah menjadi guru padahal dia sangat menyukai dan berbakat dalam menggambar atau melukis. Aku yakin, Ayah bisa membuka pamerannya sendiri jika dia memperjuangkan apa yang dia sukai. Tapi, Ayah menyerah. Dia lebih memilih menjadi guru sesuai apa yang diinginkan orang tuanya.

Aku miris melihat semuanya. Sejak kemarin, Ayah tidak menunjukkan senyumannya padaku. Ayah berubah dingin. Apakah Ayah terkena hipnotis? Atau apakah jiwa Ayah sedang tertukar oleh orang lain? Pertanyaan-pertanyaan itu terlintas begitu saja di kepalaku. Aku yang berusaha untuk mencari tahu, lekas berdiri di depan Ayah. Menunjukkan mataku yang bulat ini pada Ayah.

"Ngapain kamu?" tanyanya. Aku bahkan bisa mendengar nada membentak di balik pertanyaannya.

"Ayah," panggilku mencicit. Seperti suara anak tikus yang baru lahir. Atau bisa juga suara tikus yang melarikan diri ketika dia berhasil membawa kabur secuil ikan goreng untuk menghilangkan rasa laparnya.

"Daripada kamu diam di situ, mending kamu beliin Ayah rokok." Dia mencerogoh dompetnya, mengeluarkan selembar uang berwarna hijau. "Rokok inter, yang bungkusnya merah. Beli di tokonya mbak Ayu," lanjutnya.

Hal pertama yang aku lakukan adalah terdiam. Aku bingung sebab Ayah sama sekali tidak pernah merokok. Setidaknya tidak di depanku atau di rumah. Tapi aku yakin, Ayah tidak pernah merokok. Kalau Ayah merokok, aku pasti bisa mencium baunya dan hingga sebelum Ayah menyuruhku membeli rokok tadi, aku belum pernah mencium asap rokok di badan Ayah.

"Kenapa diam?"

Ditanya begitu, aku lantas tersadar dari lamunan dan pergi ke toko yang Ayah maksud. Toko mbak Ayu tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya berjarak sekitar 10 meter. Aku memilih untuk berjalan kaki daripada menaiki sepedaku yang masih menggunakan dua ban batu tambahan di samping kanan-kiri ban belakangku. Ya, aku masih belajar untuk naik sepeda. Minggu lalu, Ayah selalu mengajariku naik sepeda dengan semangat.

Sekitar lima menit kemudian, aku membawa sebungkus rokok berwarna merah dan menyerahkannya pada Ayah.

"Ini rokok surya dua belas, bodoh?!?!?" bentak Ayah. Bahkan dia menarik tanganku keras. Mataku mengedar, berusaha mencari-cari Ibu. Dapur kosong. Artinya Ibu sudah tidak ada lagi di dapur.

Ibu kemana? Aku butuh Ibu, batinku.

"Emang dasar anak bodoh."

Sengaja atau tidak, Ayah mengambil secangkir kopi panas lalu menyiramkannya di tangan kananku. Membuat tanganku terasa seperti terbakar. Untuk saat itu, Wulan yang masih berumur lima tahun menangis kencang dan memanggil Ibunya. Tangisku bertambah kencang ketika Ibu datang, mengamati kulit punggung tanganku yang melepuh lalu berganti menatap Ayah.

"Kamu waras?" Ibu bertanya dengan emosi yang memuncak.

Ayah bangkit dari duduknya. "Sebelum tanya gitu ke aku. Tanya dulu ke anak kamu yang tolol itu," katanya. Kemudian berjalan keluar rumah.

Aku baru menyadari, Ayah rupanya membenciku. Dia mungkin benci punya anak sepertiku. Anak yang belum pernah membanggakan Ayahnya.

"Kita obatin luka kamu dulu ya, nak," ucap Ibu, menggendongku sembari terus mencoba menenangkan tangisku.

Tbc

Kl kalian pernah di posisi Wulan. Yg kumaksud pernah ngerasa hidup kalian nggak berguna, percayalah hidup kalian sangat-sangatlah berguna. Aku ambil contoh sederhana, sejak kalian lahir di bumi dan menyandang title manusia, kalian lahir dibantu bidan. Tanpa kalian, bidan tidak akan dapat penghasilan. Lalu ketika nama kalian didaftarkan di kantor catatan sipil untuk membuat akta kelahiran dan kartu keluarga baru, secara tidak langsung kalian juga ikut menggaji para petugas catatan sipil.
Sederhana, bukan?
Belum lagi kalau kalian udh dewasa dan punya penghasilan sendiri, pajak yang kalian bayarkan itu bisa membantu pembangunan negara buat lebih maju. Bersaing dngn negara" di dunia.
Jadi mulai sekarang, BERHENTI BUAT NGERASA KALIAN NGGAK BERGUNA.
Percayalah! Kalian lebih berharga dari yang kalian bayangkan.

11 Juni 2020
Tertanda,

Erina Putri

Akan Kuceritakan Semua Tentangku [COMPLETED]Where stories live. Discover now