24. Kisah :: 28 Februari 2017

61 2 0
                                    

Jangan lupa vomments💫

Selamat membaca

Sebuah catatan
Teruntuk teman-teman yang pernah merasakan kejamnya "Pelecehan seksual" aku cuma menyampaikan, kalian sangat berharga. Kalian hebat sudah mau bertahan. Kalian bukan aib yang harus dijauhi, bukan juga kejahatan yang harus dikecam.
Intinya, terima kasih sudah mau bertahan. Dan teruntuk kalian yang berani speak up, aku ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena sudah mewakili jutaan kisah dari teman-teman yang ada di luar sana. Teruslah bermimpi dan teruslah tersenyum :)

With luv,
Erina Putri

Lamongan, 28 Februari 2017 pukul 16. 25 WIB

Baru saja aku keluar dari gerbang sekolah hendak menuju ke halte seberang untuk menunggu bus di sana, aku melihat seorang pria yang sudah tidak asing lagi bagiku. Dia sedang duduk di atas motornya. Ketika melihatku, dia tersenyum lalu berjalan menuju ke arahku. Refleks, aku mundur perlahan. Namun terlambat. Dia sudah mencekal lenganku.

Aku tak berani mentapnya. Kenangan menyedihkan itu terlintas di kepala. Mendorongku untuk menjerit minta tolong atau sekedar menangis kencang. Tapi tiba-tiba aku kelu. Aku hanya berani menatap cekalan tangan itu. Aku takut. Takut tiba-tiba tangan itu membahayakanku.

"Kamu mau kemana? Ibu kamu sakit. Dia sedang di rumah om sekarang."

Aku memberanikan diri menatapnya ketika dia mengatakan kata, "ibu."

Aku menggigit bibir bawahku lalu bertanya, "Ibu sakit apa, Om? Ibu baik-baik aja, kan?"

"Ibu kamu pingsan. Kamu bisa menjenguknya sekarang kalau kamu mau."

Aku menunduk, ragu. Jika aku tidak pergi sekarang, maka aku akan egois. Jika aku pergi, ketakutan itu masih menghantui.

"Gimana?" tanya Om Handoko.

"Wulan mau ketemu Ibu, Om," jawabku.

"Ya sudah kalo gitu kamu ikut om."

Aku berjalan mengikuti Om Handoko. Kemudian duduk di boncengan motornya. Ketakutan itu semakin menjadi-jadi. Terbukti dari jantungku yang berdetak semakin tidak karuan dan keringat dingin yang membanjiri telapak tangan. Pikiran-pikiran buruk itu terus bermunculan bersamaan dengan kata hatiku yang mencemaskan kondisi ibu. Aku khawatir dengan kondisi ibu. Aku takut ibu terlalu capek merawat adik dan aku sehingga lupa merawat dirinya sendiri.

Beberapa menit kemudian, kami sampai di sebuah rumah. Rumahnya jauh dari keramaian. Hanya ada beberapa rumah yang nampak sepi lantaran tidak adanya satu kendaraan pun yang terparkir. Sedangkan bagian kanannya adalah lahan kosong, tempat rerumputan tumbuh subur di sana.

Meskipun aku berusaha untuk baik-baik saja, pikiran-pikiran negatif itu semakin banyak menghampiri. Aku memejamkan mata, berusaha meyakinkan jika tidak akan terjadi apa-apa.

Om Handoko berjalan ke dalam rumah terlebih dahulu. Sedangkan aku berjalan mengekorinya dengan langkah bimbang.

"Kamu duduk dulu, om bikinin minuman buat kamu."

"Om, bisa nggak Wulan ketemu sama ibu dulu?"

"Ibu kamu masih tidur. Kamu tunggu aja di sini. Kasihan kalo kamu masuk ibumu nanti bisa kebangun."

Om Handoko berlalu. Aku mengamati desain interior rumah. Sembari membayangkan apakah nanti jika ibu menikah dengan Om Handoko, ibu akan tinggal di sini? Apakah aku akan tinggal dengan ibu?

Saking fokusnya aku dengan duniaku sendiri, aku tidak menyadari kehadiran Om Handoko. Dia menggunakan kesempatan itu untuk membungkam mulutku dari belakang menggunakan lakban. Belum sempat aku menoleh ke belakang, dia sudah berlari ke depan lalu mengikat tangan serta kakiku menggunakan tali tampar yang aku sendiri tidak tahu darimana dia mendapatkannya.

Tentu saja aku berontak, berusaha menggagalkannya untuk mengikat tangan dan kakiku. Aku menendangnya, mendorongnya, bahkan aku menangis di depannya. Dia tidak menyerah sedikitpun. Dia menepis perlawananku. Dia juga tidak peduli dengan kulitku yang memerah karena ikatannya yang terlalu kencang. Dia tidak peduli itu dan aku hanya bisa menangisi kebodohanku.

Setelah berhasil mengikat tangan dan kakiku, dia mengambil sebuah kain yang dia letakkan di saku celananya lalu memakaikannya untuk menutup mataku. Aku menggelengkan kepala, berusaha melawan dengan sekuat tenaga. Namun yang kudapatkan malah tamparan keras di pipiku hingga membuatku terhuyung. Dia menggunakan kesempatan itu untuk melanjutkan rencananya.

Saat itu, semuanya gelap dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa dan menangis miris. Aku merasakan tubuhku diangkat di pundaknya. Tak berapa lama aku merasakan tubuhku dibanting telentang di permukaan yang empuk. Aku berusaha untuk bangkit atau setidaknya duduk. Namun usahaku lagi-lagi digagalkan lantaran tubuhku yang didorong keras hingga jatuh telentang lagi. Kemudian aku merasakan ikatan di tanganku semakin dikencangkan hingga aku tidak bisa bergerak. Sedangkan ikatan kakiku terlepas tetapi tidak berlangsung lama lantaran aku merasakan hal yang sama, seperti apa yang dia lakukan pada ikatan tangan dan kakiku.

Aku hanya bisa menebak jika ikatan kedua tangan dan kakiku diikatkan dengan sesuatu yang membuatku tidak bisa berontak bahkan bergerak bebas. Aku tidak merasakan apa-apa saat itu. Hanya mendengar beberapa keributan kecil.

Dan setelah itu, apa yang kutakutkan benar-benar terjadi. Dia, Om Handoko, dengan beraninya merampas apa yang seharusnya aku jaga bahkan sebelum usiaku tepat 14 tahun. Saat itu juga duniaku benar-benar hancur. Dan akhirnya aku menemukan sebuah alasan besar untuk menyerah pada kehidupan.

Aku, Wulan, telah gagal untuk menjadi bulan bagi orang-orang di sekitarku. Bahkan aku gagal menjadi penerang di kehidupanku yang gelap. Sangat gelap. Hingga aku tak bisa menemukan jalan untuk aku kembali ke dunia. Disambut dengan suka cita atau disambut dengan senyuman bahagia.

Aku, Wulan, memutuskan untuk memejamkan mata hingga aku tak perlu melihat dunia yang fana.

Aku, Wulan, mengangkat tangan lalu melambaikannya pada Tuhan. Aku menyerah.

Aku, Wulan, akan membiarkan air mataku turun dengan sangat derasnya. Biarkan dia saja yang berbicara. Ketika mulutku dibungkam dan ketika mataku tak mampu untuk menatap.

Aku, Wulan, dengan ini menyatakan. Aku, Wulan, dengan ini berdiri tegak.
Aku, Wulan, dengan ini mendongakkan kepala.
Aku, Wulan, dengan ini aku akan menantang dunia.

Tbc

01 September 2020
Tertanda,

Erina Putri

Akan Kuceritakan Semua Tentangku [COMPLETED]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt