25. Kisah :: 28 Februari 2017

50 1 0
                                    

Jangan lupa vomments💫

Selamat membaca

Lamongan, 28 Februari 2017 pukul 17. 40 WIB

Langit menggelap ketika aku berhasil keluar dari rumah yang menjadi saksi atas ketidak berdayaanku. Aku terus melangkah tertitih sembari menatap kedua kakiku yang hanya memakai kaos kaki. Kedua sepatuku aku bawa di tangan kanan. Sedangkan tangan kiriku berada di baju seragam bagian depan.

Keringat masih membanjiri tubuhku yang bersatu dengan air mataku. Aku sengaja membiarkannya. Bibirku bergetar ketika kejadian yang sangat mengerikan itu menghantui pikiranku. Apalagi ketika dia yang telah melampiaskan nafsunya, dengan tenangnya berkata, "Kalau kamu berani melaporkan ini ke siapapun, termasuk ibumu, lihat saja apa yang akan om lakukan pada ibu dan adikmu."

Aku terduduk di jalanan yang sepi ini. Merasakan dinginnya dunia seolah akan menghakimiku. Mengatakan jika ini karena kebodohanku. Menertawakanku lantaran dengan mudahnya aku percaya pada orang lain.

Tanpa sengaja, kenangan tentang ibu yang memelukku ketika aku berhasil membuatnya bangga atau ketika ayah yang menggendongku dan mengatakan bahwa aku adalah putri kesayangannya, terasa begitu menenangkan sekaligus menyakitkan. Bagaikan ada batu besar yang menghimpit dadaku, aku merasakan sesak yang luar biasa. Aku menjambak rambutku dan berusaha menghilangkan setiap jejak yang dia tinggalkan di tubuhku.

Tidak ada lagi yang bisa aku banggakan dari diriku dan aku membenci itu.

Perlahan, aku bangkit dan meneruskan perjalanan. Mencari halte bus terdekat lalu menaiki bus yang akan membawaku ke rumah.

"Dasar tidak tahu malu," batinku mengejek.

Sesampainya aku di rumah, aku hanya mendapati emak dan adikku. Katanya, ibu belum pulang karena mungkin saja ada lembur. Aku bernafas lega, bersyukur. Setidaknya aku tidak akan ditanyai oleh ibu mengenai kondisiku. Bahkan ketika emak bertanya alasanku telat, aku hanya mengatakan jika aku ada tugas kelompok.

Benar. Aku takut dengan ancamannya.

Aku lantas masuk ke kamar. Meletakkan tas dan sepatuku lalu menuju ke kamar mandi. Aku mengguyur tubuhku begitu saja dengan harapan kenangan itu akan hilang terbawa oleh air. Andai kenangan bisa hilang begitu saja, mungkin semua manusia di muka bumi akan baik-baik saja.

Setelah membersihkan diri, aku masuk ke dalam kamar dan menyadari jika waktu sholat maghrib sudah hampir habis. Aku melihat ke tempat di mana sajadah dan mukena yang biasa kukenakan terletak. Aku bisa melihat ada al-qur'an juga di sana. Aku menatapnya lekat lalu menundukkan kepala.

"Tuhan, aku malu," kataku lirih lalu disusul dengan air mata yang mulai membanjiri pipiku, lagi.

Dan sepanjang waktu itu aku habiskan untuk menundukkan kepala pada Tuhan. Mengangkat tangan meminta permohonan sebagai hamba-Nya yang tidak berdaya. Tanpa memikirkan bagaimana aku nantinya.

Tbc

02 September 2020
Tertanda,

Erina Putri

Akan Kuceritakan Semua Tentangku [COMPLETED]Where stories live. Discover now