10. It's him

329 63 10
                                    

Melaju seratus kilometer per jam di jalan bebas hambatan, Tru tidak memedulikan klakson yang diberikan pengendara lain ketika ia memotong jalan kendaraan lain yang berjalan bak siput di jalur cepat.

Lagu techno-rock berdentum keras di dalam kabin mobil, jari-jari lentik milik Tru berdansa mengikuti irama musik yang bermain dengan tempo cepat. Sementara mulutnya berusaha mengikuti sebait lirik yang mengisi rangkaian musik yang diputarnya berulang-ulang kali.

Tak lama ban mendecit saat Tru memutar kemudi membawa sedan putih ke area pinggiran di mana kemacetan bukan bagian dari kota itu.

Walau musik bertempo cepat dan bernada riang terdengar bergantian mengisi kabin, tetapi semua itu tidak dapat mampu menghilangkan kegalauan yang ia rasakan saat ini. Rasa takut dan cemas menguasainya, menyisakan sedikit perasaan gembira bahwa masih ada kemungkinan dia bukan satu-satunya orang yang selamat pada misi kala itu.

Mo ... apakah kamu menyadari kalau itu aku? Akankah kamu mencariku seperti aku mencarimu saat ini? batin Tru.

Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam di atas aspal, Tru akhirnya menepikan kendaraan di sebuah kafe yang terletak di pinggir jalan, tak jauh dari pantai. Tidak segera masuk, ia memilih berdiri di bawah pancaran kuat sinar matahari dan menatap bangunan tua bernuansa putih dengan kombinasi biru muda pada atapnya. Sebuah papan nama bertuliskan 'sea amore' masih terbaca jelas walau cat putih sebagian kabur tertutup debu dan asap kendaraan.

Melihat detail kafe yang belum banyak berubah menyiram Tru dengan nostalgia. Pikirannya melayang ketika Mo mengatakan betapa dia sangat menyukai tempat ini, karena mengingatkannya pada kampung halaman yang terletak dekat dengan pantai di mana hampir semua bangunannya mempunyai bentuk dan warna seperti ini.

Tru tersenyum kecil ketika mengingat ekspresi Mo yang bercerita dengan penuh semangat dan kagum saat pertama kali mereka menemukan tempat ini, bahkan suara bassnya masih terdengar dekat di telinganya.

Ia lanjut melangkah menuju pintu masuk kafe, suara gemerincing lonceng berbunyi. Masuk disambut aroma kopi dan kue yang baru saja keluar oven semerbak menggelitik hidungnya dan merangsang pusat lapar di otaknya.

"Nona Tru?" Suara serak seorang pria tua memanggilnya dari meja bar.

Kedua matanya bergulir ke tempat di mana seorang pria kira-kira berusia setengah abad berdiri. Ia tersenyum dan berjalan perlahan ke arahnya. Mengenali pria tua yang selalu melayani mereka dulu.

"Pak Noel, apa kabar? Lama tidak bertemu." Tru memandang pria yang dulunya gagah, sekarang terlihat lebih tua dengan rambut putih dan keriput yang tergambar jelas di kening dan di sudut mulutnya.

"Nona, ke mana saja? Sudah lama sekali aku tidak melihatmu." Pria tua itu menaikkan kacamata yang mulai turun di pertengahan tulang hidungnya untuk melihat wajahnya lebih jelas lagi.

"Aku sudah pindah kota, karena itu aku tidak pernah ke sini. Pak Noel terlihat tidak banyak berubah, masih gagah seperti dulu," sanjung Tru.

"Haha ... mungkin saya masih terlihat gagah, tapi tidak dengan tenaga yang sudah jauh melemah dibandingkan empat tahun yang lalu."

Melihat dari dekat, Tru akhirnya mengerti dengan makna tenaga yang melemah. Walau dia tengah diam, tetapi ia jari-jari tangan kirinya terus bergerak ritmik bak pegawai bank yang sedang menghitung uang dalam genggaman.

Silver - XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang