16. Mimpi buruk

231 47 8
                                    

Keesokan paginya, Tru tidak juga turun dari kamar walau matahari sudah bergerak tinggi. Yin beberapa kali mencoba membangunkannya, tetapi tidak juga membuahkan hasil. Suara 'iya' pun tak diperolehnya walau lebih dari lima menit ia mengetuk pintu.

Berjalan tertunduk ke arah dapur, ia menghela napas panjang saat melihat omelet dan kentang goreng yang lembek dan tak lagi menggugah selera.

Baru kali ini Tru mempertahankan keras kepalanya cukup lama. Biasanya dia hanya akan merajuk semalaman dan paginya dia akan kembali ceria seakan tidak ada yang mengganggunya.

"Dia belum turun?" tanya Zan yang hanya dibalas dengan gelengan kepala.

"Ao sudah mencobanya?" tanya Zan menengadahkan kepala seakan kedua matanya bisa menembus langit-langit dapur dan melihat Tru di atasnya.

"Ao pergi dengan Bon."

"Tiga hari," jawab Yin pendek. "Datangi dia. Aku mau dia turun untuk makan siang!" pintanya yang diucapkan dengan nada memerintah.

Dia berani memerintahku? batin Zan bergejolak melihat perempuan yang jauh lebih muda dari pada Tru berani memerintahnya.

Yin yang selalu diam dan tidak pernah sekali pun bersikap tidak sopan kepada orang yang lebih tua, kini memerintah Zan. Sepertinya dia sudah menjadi musuh semua orang berjenis kelamin perempuan di rumah ini.

Namun, pria itu menahan semua emosi saat melihat perempuan berambut pendek itu mengigit bibir bawah dan terus memutar celemeknya sampai memperlihatkan sedikit kulit yang tidak tertutup celana denimnya. Dia jelas terlihat sangat khawatir dengan Tru.

"Siapkan saja makanannya, aku akan membawanya turun."

***

Di dalam kamar bernuansa putih, Tru terlihat terbaring di tempat tidur dengan gelisah. Secercah cahaya matahari yang berhasil menyelinap masuk menjadi satu-satunya sumber cahaya sekaligus penghangat saat pendingin ruangan menurunkan suhu.

Mengenakan piyama lengan panjang berwarna putih yang sebagian tertutup gelapnya selimut, bola mata Tru tidak berhenti berlarian di balik kelopak mata yang terpejam rapat. Bulu matanya yang lentik tampak bergetar pelan bersamaan dengan napas yang terembus tidak beraturan. Otot tubuhnya menegang, diikuti oleh jari-jari tangan yang sesekali menjentik. Mimpi buruk sepertinya tengah bertamu di dalam tidurnya.

***

Suara ledakan keras menggema. Gedung tiga lantai yang sebelumnya berdiri kokoh kini runtuh dan menyisakan separuh bangunan berdiri goyah di antara pepohonan.

Di dalam, Tru terlihat berbaring tertelungkup tidak sadarkan diri dengan serpihan tembok dan butiran debu menyelimutinya. Ruang yang tadinya terang benderang dengan sinar buatan manusia kini berubah kelam bak malam.

Selang beberapa lama, mata almondnya terbuka dan sedikit demi sedikit kesadarannya terkumpul. Ia berkedip beberapa kali berusaha menghilangkan kabut yang menutup pandangannya. Ia bahkan menggosok matanya dengan punggung tangan, tetapi visualnya belum juga jernih seperti semula.

Pikirannya pun tak jauh berbeda, hanya ada kekosongan yang berujung kebingungan tentang apa yang baru saja terjadi. Butuh waktu beberapa menit untuk memorinya kembali. Semua karena rasa nyeri tumpul di bagian kepala yang perlahan mengalirkan darah dan nyeri tajam di paha kanan.

Ia mengedarkan matanya. Dengan bantuan secercah sinar yang berhasil menembus sebagian atap yang runtuh, ia dapat melihat dinding yang hancur sebagian dan memperlihatkan kerangka besi yang membengkok akibat tekanan dari daya ledak bom. Lampu dan perabotan lainnya tidak lagi terlihat utuh, semua sudah melebur bersamaan dengan bagian konstruksi gedung yang runtuh menimpanya.

Silver - XWhere stories live. Discover now