17. Pertemuan kedua dengan masa lalu

225 47 6
                                    

Satu minggu Tru terlelap dengan mimpi yang dengan setia menemani setiap malam. Mimpi buruk yang semakin hari semakin dirasakan nyata baginya. Dia bahkan sudah tidak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan mimpi ketika kedua matanya terpejam.

Pagi ini dia kembali terbangun dengan napas yang tidak teratur, keringat dingin membasahi wajah dan setengah panjang rambutnya, dan jantung berdegup kencang. Tru ingin menangis, berteriak, mengeluarkan semua beban yang ada di dadanya. Namun, ego melarang, menahannya supaya dia tetap kuat melawan semua mimpi itu.

Walau kini ia terlihat lebih baik di pagi hari, tetapi ketika matahari berganti dengan rembulan, kecemasannya menumpuk sedikit demi sedikit, sampai akhirnya dia tidak lagi bisa menguasai dirinya. Memaksa Tru melakukan aktivitas berat di malam hari, mulai dari memukul samsak pasir atau berenang mengitari kolam renang lebih dari dua puluh kali. Semua dilakukan untuk melemahkan fisik, menghabiskan cadangan glukosa, dan membuatnya–hampir–pingsan, sehingga otaknya tak lagi punya energi untuk membangkitkan mimpinya.

Ao sendiri tidak lagi tahan melihat kondisi Tru, bagaimana dia menyiksa dirinya luar dan dalam hanya untuk melupakan sesuatu yang seharusnya menjadi bunga tidur. Sampai akhirnya dia meminta Theo untuk tidak lagi memberi mereka misi yang berbahaya untuk sementara waktu.

Walau begitu sebuah misi tetap mendatangi kelompok mereka. Misi di mana Tru menyamar menjadi pelayan di sebuah restoran mewah, sedangkan Zan menjadi salah satu pelanggannya. Tujuan utamanya hanya untuk menggagalkan transaksi jual beli organ tubuh yang dilakukan oleh pegawai rumah sakit umum milik pemerintah.

Misi ini seharusnya sangat sederhana, menangkap seseorang yang tidak mempunyai latar belakang beladiri, tetapi Tru masih saja–dengan suksesnya–mendapat luka baru di lengan kanannya. Semua karena kenekatannya mengambil pisau steak yang digunakan oleh tersangka ketika ingin mengakhiri dirinya sendiri.

Pagi ini, Tru sudah tidak lagi sanggup menahan semuanya. Beban di dadanya sudah mencapai tahapan di mana dia tidak mampu lagi menarik napas tanpa adanya rasa sakit yang tercetuskan.

Setelah menunggu satu jam untuk menenangkan diri, ia memutuskan untuk bangun dari pembaringan dan membawa badannya pergi ke suatu tempat yang bisa membantu untuk menenangkan dirinya.

Dalam satu kedipan mata, ia tidak lagi berada di rumah besar yang membosankan itu. Kini dirinya duduk di balik kemudi dan melaju kendaraaannya seratus empat puluh kilometer per jam di jalan bebas hambatan.

Menghindari puluhan kendaraan, melakukan gerakan zig-zag yang tidak hanya membahayakan dirinya, tetapi juga pengendara lainnya. Walau suara klakson terdengar bertubi-tubi tanpa henti, tetapi semua teriakan protes itu hanya membuat Tru semakin kencang melarikan BMW silver-nya.

Kali ini tidak ada musik yang berdentum kencang di dalam kabin mobil. Hanya ada suara instrumen musik bertempo lambat yang menambah rasa tidak keruan pada dirinya. Musik yang sengaja dipilih untuk menimbulkan rasa sakit dan memicu air mata yang tidak kunjung keluar dari puncanya.

Empat puluh menit berjalan tanpa arah, akhirnya Tru memutar kendaraannya menuju pinggir kota. Tak lama, ia memarkirkan kendaraan di depan kafe Sea Amore dan disambut oleh pantulan sinar matahari yang menyilaukan mata.

Alih-alih menyejukkan badannya di dalam kafe, Tru memilih membelokkan langkahnya menuju pasir putih. Tidak lagi memedulikan terik matahari yang menyengat kulitnya.

Terus melangkah dengan bertuntun semilir angin, ia menyisir garis pantai dan bermain dengan ombak kecil yang sesekali mencolek kakinya. Ia kemudian berhenti untuk menikmati warna keemasan mentari berubah warna menjadi jingga yang perlahan ditelan oleh cakrawala.

"Tru," suara Mo terdengar di antara keriuhan debur ombak dan siulan angin malam di telinganya.

"Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Tru tanpa memindahkan pandangannya.

Silver - XWhere stories live. Discover now