9. Kultum Humaira

13.7K 2.5K 335
                                    

"Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat."
(HR. Bukhori, No. 3461)

~HASEIN~
Adelia Nurahma

"Husein."

Husein mengangkat kepalanya untuk melihat gadis yang baru saja memanggil namanya. "Ada apa, Ra?" tanyanya, mengurungkan niatnya untuk mengetikkan pesan pada Hasan yang sedang pergi ke kantin bersama Kiko.

Humaira menunduk, tak berani menatap manik teduh itu. Sambil memilin rok panjangnya-menahan gugup- ia meminta izin, "Hari ini aku boleh isi kultum di depan?"

Husein mengerjap antusias. "Boleh. Boleh banget, Ra."

"Emang kamu belum nyiapin topik?"

"Udah sih. Tapi gak papa. Bisa besok lagi."

Humaira tersenyum, membentuk garis indah pada matanya, "Makasih." Ia menunduk sekali, kemudian berlalu setelah Husein berucap, "Iya, Ra."

Husein turut tersenyum setelahnya. Mengenyahkan ucapan Hasan yang tidak membolehkan ia bersikap ramah kepada Humaira. Hasan saja dengan enteng memanggil Syila sayang seperti kemarin. Mau apapun alasannya, tetap Hasan salah. Dasar abang, maunya menang terus.

Husein melanjutkan niatnya, yakni mengirim pesan pada Hasan. Namun baru saja ia mengetik satu kata, suara Hasan sudah terdengar. Lelaki itu masuk kelas bersama Kiko.

"Yang penting dilunasin."

Itu yang pendengaran Husein tangkap. Lalu Husein melihat Kiko berjalan tergesa ke arahnya. Terlihat seperti ingin mengadu.

"Sein, masa abang lo ngutang!"

"Ha?" Husein gak salah dengar, kan?!

"Iya. Dia ngutang. Katanya lupa bawa duit."

Husein menepuk keningnya, lalu melirik Hasan yang menyengir kuda. Benar-benar si Hasan. Uang saja sampai lupa dibawa.

"Untung gue baik, gue utangin deh daripada dia ngutang ke mamang kantin."

Hasan pun langsung ngegas, "Kalo baik itu ngebeliin, bukan ngutangin. Sahabat macem apa lo?!"

Wadidaw. Kiko tersindir.

"Pagi mameeen."

Iqbal bukan Dilan dataang. Pukul tujuh kurang sepuluh menit. Dia agak terlambat hari ini. Biasanya jam setengah tujuh sudah duduk ganteng di dalem kelas.

Mengalihkan topik pembicaraan soal utang yang menyudutkan dirinya, Kiko beralih bicara pada Iqbal. "Lo kok telat?"

"Ah, enggak. Belum jam tujuh."

"Kan biasanya nyampe bareng, setengah tujuh."

Iqbal sedikit meloncat sambil memegangi tali tas gendongnya. Dari raut wajahnya dia terlihat sangat-sangat bahagia. Tidak heran. Iqbal memang orang yang sangat ekspresif. Dan auranya selalu bahagia, banyak energi positif yang ada dalam dirinya.

"Gue berangkat naik motor dong hari ini," ujarnya berbangga diri. Setelah berhari-hari latihan bawa motor, akhirnya dia bisa.

Berlawanan dengan Iqbal yang sangat bahagia karena sudah bisa mengendarai motor ke sekolah, ketiga orang di situ malah keheranan. Harusnya kan kalo bawa motor malah datang lebih cepat, bisa salip-salip set set set. Kok si Iqbal malah makin lama sampenya? Sungguh mengherankan.

"Lo pake motor harusnya bisa lebih cepet. Kenapa jadi makin lama?" tanya Hasan. Tidak tahan dengan keanehan yang terjadi.

"Kan bawanya pelaaan-pelaaaan, takut nabrak. Nanti mami gue nyalahin aspalnya."

Hasein [SELESAI]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ