22. Peduli?

11.3K 2.4K 539
                                    

Menilai buruk orang lain gak menjadikan diri lo terlihat lebih baik.
-Hasan-

~HASEIN~
Adelia Nurahma

Gadis itu memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Mengulum bibirnya hingga membentuk garis tipis, lalu mundur dua langkah supaya bisa melihat bagian tubuhnya lebih banyak. Hari ini, ada almamater sekolah berlengan panjang yang menutupi lebih banyak bagian tubuhnya dari biasanya. Hanya saja... Gadis itu menunduk, melihat rok pendeknya yang bahkan tak sampai menutup lutut. Kaus kakinya juga bahkan tak terlihat saking pendeknya dan tertutup sepatu.

Mendengar apa yang Hasan bicarakan di kelas tadi pagi, entah mengapa mendadak membuatnya merasa... Tidak nyaman dengan penampilannya. Menyadari kalau inilah sebab ia sering ditatap lama oleh laki-laki.

Suara pintu terbuka membuat Syila langsung berjalan mendekati cermin dan pura-pura berkaca. Ia melihat dari pantulan cermin dan menghela napas lega karena ternyata Humaira yang masuk.

"Syila, tadi dicari Erwin."

"Dia di mana?"

"Kantin."

Syila hanya mengangguk. Lalu memperhatikan penampilan Humaira yang sosoknya masuk ke dalam bilik. Lantas, ia menggeleng dan terkekeh tanpa suara. Gila saja. Mana mungkin tiba-tiba dia berpakaian seperti itu. Apa nanti kata ayahnya? Bisa-bisa Syila dikirim ke pesantren karena dikira mau jadi ustadzah. Terus Erwin, bisa ketawa sampe guling-guling itu orang.

Menghela napas panjang. Syila kembali bercermin. Kedua tangannya menapak di sisian wastafel yang dilapisi marmer. Syila tersenyum tipis. Kadang merasa tak percaya kalau dirinya masih bisa terlihat setegar ini. Sungguh topeng yang luar biasa.

Kesepian. Tak punya ibu. Tak punya teman. Memiliki seorang ayah yang gila kerja. Punya mantan gila. Dan selalu membebani Erwin. Hidupnya sungguh kacau. Kenapa Tuhan sangat tega?

Tanpa disadari matanya berkaca-kaca. Syila segera membasuh wajahnya ketika mendengar suara bilik terbuka. Terlihat Humaira keluar dari sana, berdiri di sebelahnya dan membenarkan jilbabnya yang agak basah. Belum lagi ia melepas kaus kaki dan sepatunya.

Syila menatapnya heran, lantas bertanya, "Lo abis mandi?"

Sontak saja Humaira menggeleng. "Wudhu," katanya.

"Wudhu? Mau shalat apa? Baru jam sepuluh."

"Dhuha."

"Oh. Lagian kan di mushola ada keran air."

"Banyak laki-laki."

"Mereka gak gigit kali," cibirnya.

Humaira malah tersenyum dan menjawab, "Malu." Membuat Syila tertegun karenanya. Ia masih memperhatikan Humaira yang memakai kaus kaki dan sepatunya, lalu gadis itu berdiri dan pamit padanya, "Duluan ya, La."

Syila tak menjawab. Namun sebelum benar-benar pergi, Humaira kembali bicara, terdengar seperti nasihat untuknya, "Jangan lama-lama di kamar mandi, gak baik."

"Iya, bentar lagi gue keluar."

Setelah tersenyum dan mengangguk mengerti, barulah Humaira keluar. Sementara Syila kembali menghela napasnya.

Tadi... Humaira bilang malu? Bagaimana bisa? Bahkan dari atas kepala sampai kaki hanya wajah dan tangannya yang terlihat. Apa yang membuatnya malu?

Itu yang memenuhi benak Syila saat ini. Lalu ia memperhatikan dirinya lagi. Mengoreksi diri. Apalah daya dirinya yang sering memakai pakaian terbuka?

Hasein [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang