20. Penghuni Mushala

35 9 5
                                    
































Biasanya waktu literasi kayak sekarang ini, Sung yang mengambilkan buku buat Jeje. Tapi sekarang manusia Suganda itu nggak masuk.

Tadi pagi waktu Jeje turun dari motor yang kebetulan hari ini dia diantarkan bapaknya, dipanggil bapak-bapak yang ternyata adalah ayahnya Sung. Beliau sempat bertanya dimana kelas delapan 'A' katanya mau titip surat, ya udah Jeje bilang aja kalau dia anak delapan 'A' eh dititipi surat izinnya Sung.

Awalnya dia nggak tau kalau itu surat sakit Sung, tahunya waktu ayahnya Sung bilang 'Saya ayahnya Jiran, dia sakit. Titip surat ya nanti tolong kasihkan ke gurunya'.

Waktu Jeje mau nanya sakit apa ayahnya Jeje keburu mengucapkan terima kasih dan pergi. Sempet mau dibuka dulu, tapi karena nggak sopan ya udah nanti nanya ke guru aja.

Alhasil dari tadi dia gusrak-gusruk nggak jelas waktu denger Sung sakit. Kasihan katanya, anaknya pendiam gitu kalau sakit pasti nggak akan bilang. Terus tidur sendirian nggak ada yang nemenin Jeje jadi sedikit khawatir.















"Bodo amat gara-gara itu gue jadi dimarahi Mak gue anjir!"

Sekarang waktunya istirahat dan Jeje cuma duduk dikelas sambil sesekali melihat buku— novel lebih tepatnya yang beberapa waktu lalu dipinjam di perpustakaan. Nggak fokus juga sebenarnya karena keganggu sama keberisikannya Chan dan kawan-kawan yang entah ghibah apa.

Cowok kok ghibah.

"Ya nggak harus dibakar juga!" teriak Chan. Heran dia mah, masa cuma gara-gara dimarahi Maknya doang tas yang jadi sasaran. Mana katanya mahal lagi.

"Bodoamat gak ada isinya juga!".

Jeje nggak menghiraukan apa kata makhluk-makhluk humam tadi, dia lebih memilih mengambil mukenanya guna salat di mushalla.

"Je! Sung nang ngendi?!" teriak Chan waktu melihat Jeje mau keluar.
(Je! Sung dimana?)

"Nggak tau, katanya sakit."

"Sakit kenapa?"

Jeje senyum dulu sebelum jawab pertanyaan Jepon barusan. Ternyata mereka mengkhawatirkan Sung juga, walaupun nggak tahu itu benar-benar dari hati atau nggak. Yang penting Sung udah sedikit di anggap.

"Ditanya malah senyum. Suka ya Lo sama Jepon?!" tuduh Jae. Emang ya manusia kalo otaknya gak pernah di sekolahin ya kayak gini jadinya. Nggak menangkap maksud dari orang lain.

"Udah Jeje mah! Baper kan Lo di gombalin Jepon waktu itu!" Kemudian di susul sama kekehan ala Jae juga Chen. Chen mah cuma ketawa-tawa doang, nggak yakin deh kalau dia tahu permasalahannya.

"Apa sih! Gue nggak tau dia sakit apa. Dahlah gue mau salat dulu!"

"Gue masih lurus jadinya mau salat juga," kata Jepon.

"Wah bener nih! Si Jepon suka sama Jeje sampai-sampai salat aja di ikutin. Mana namanya udah sama pula!" kompor Jae.

"Gue jadi takut kalo sebenernya Lo yang suka Jeje Dul!" kata Jepon dari jendela kelas yang kemudian di selingi sama kakakan khas Chen, lagi. Memang tukang ketawa lumba-lumba itu nggak bisa kalau sehari aja nggak ngakak.

"Sung juga inisial namanyan 'J'," kata Jun.

"Dungaren awakmu nyambung Cok!" Meledak lah tawa semua makhluk yang ada di kelas ini gara-gara Chan ngomong pakai logat Jawa, medok pula.
(Tumben Lo nyambung Cok)

"Turun kasta gue gara-gara ngakak mulu!"

"Anjir perut gue kek di gelitikin, hahaha."

"Gue tau Chan Lo itu receh, tapi jangan ngajak-ngajak juga dong!"

One Class | LengkapWhere stories live. Discover now