33. Gak Jadi

17 5 12
                                    

"Saya tahu itu pasti berat buat kamu."

"Banget Sung."

Hari ini adalah hari dimana anak-anak SMP N 1 menerima raport semester ganjil yang semoga aja nilainya memuaskan, gak dibawah tujuh puluh semua. Hahaha

"Mau ke kantin?" tawar Sung.

Untuk wali murid kelas delapan—mulai dari delapan 'A' sampai delapan 'H'— pembagian raport nanti jam sembilan tepat. Sengaja dipisah biar tempat parkir sekolah nggak penuh katanya. Dan sekarang waktunya kelas tujuh—sekitar pukul delapan— serta nanti dilanjutkan kelas delapan dan kelas sembilan di jam sepuluh nanti.

"Boleh," kata Jeje sambil menyangkutkan tas di punggungnya, karena memang tidak ada satupun siswa atau siswi yang menaruh tasnya di kelas—selain nanti buat rapat pengambilan raport— gak ada alasan lain sih, tapi ... kata kakak kelas jalan-jalan sambil bawa-bawa tas itu keren.

"Oh ya, Chan sama yang lain mana?" lanjutnya.

"Mereka datang bersama wali muridnya nanti, ayo."

"Kok tau?"

"Dibahas di group."

Sekolahan hari ini itu dipadati sama para wali murid doang, muridnya sih kebanyakan di kantin, kayak Jeje sama Sung sekarang. Akibatnya kantin ramai dan enggak ada tempat duduk.

"Bawah pohon jambu aja, hayuk!"

Dan pohon jambu yang ada di samping kantin itu berubah jadi tempat paling teduh plus paling seger sekarang karena emang sih di situ selalu kena angin.

"Berarti tidak jadi?"

Jeje hanya mengangguk, setiap kali diingatkan tentang hal itu dia pasti sedih. Udah dari dulu dia menginginkan pindah rumah, tapi enggak jadi.

"Buk, Jesslyn ada uang buat beli rumah baru, cuma baru sedikit. Ibuk mau nambahin?" tanyanya waktu itu, saat dia baru pertama kalinya mendapatkan uang dari hasil YouTube dan juga hasil jualan souvernir. Atau lebih tepatnya saat dia kelas enam.

"Kalau sekarang belum dulu ya Lin, usaha Bapakmu sedang tidak stabil. Katanya kayu yang seharusnya dikirim kena operasi karena ternyata tempat pemotongan kayunya tidak resmi," jelas sang ibu waktu itu.

Jeje langsung menggembungkan pipinya, seandainya dia dibantu sedikit saja uang dari Ibunya pasti dia jadi pindah rumah karena saat itu harga rumah memang sedikit menurun.

Dengan gontai Jeje keluar dari kamar ibu, "Sepertinya uang tambunganmu bakalan dipinjam sama Bapak juga, Lin."

Jeje langsung pergi ke kamar kemudian menangis, perasaannya campur aduk sekarang. Dia nggak bisa menyalahkan Bapaknya atau Ibunya atau bahkan orang-orang disekitarnya, tapi ... dia juga butuh melampiaskan kemarahannya.

Bukan marah hanya saja dia ... dia bingung, pikirannya kosong. Apakah akan terus seperti ini, hidup disini sambil mendengarkan gonjang-ganjing tidak jelas dari tetangga sekitar? Jeje pengen segera pindah, tapi kayaknya enggak mudah.

"Gue sedih Sung," adu Jeje.

Rasanya dia bener-bener pengen jadi orang yang paling egois sedunia, enggak peduli walaupun Sung ada masalah apa yang penting sekarang dia pengen cerita sama temannya. Iya, teman.

"Saya siap mendengar cerita kamu." Sekarang Jeje dejavu sama kejadian hari lalu di perpustakaan, memalukan sekali kalau inget dia nangis sambil dipuk-pukin Sung. Padahal cuma gara-gara dikatai Jun.

"Buk gimana?"

Jeje kembali bertanya sama Ibunya setahun setelah penolakan yang lalu. Dia beneran semangat hari ini, tahun ini dia benar-benar yakin bakalan pindah dan memberikan surprise sama Bapaknya tentang rumah yang akan dibelinya itu. Iya, akan tapi belum.

One Class | LengkapWhere stories live. Discover now