27. Ulangan

19 6 29
                                    

Hal yang pertama kali Jeje lihat waktu sampai di depan kelas delapan 'E'—tempat dia ulangan— adalah kakak kelas yang pada duduk-duduk santai di emperan kelas. Mulai dari yang duduk sambil ngobrol sampai yang bawa nasi dari kantin pun ada.

Emang sih sekarang itu udah mepet—lima menit sebelum bel masuk. Kalau biasanya bel masuk itu jam tujuh kurang lima menit pas ulangan ini jam tujuh lebih seperempat baru bel.

"Permisi Kak."

Jadi adek kelas itu harus sopan terlebih anak 'A', terlepas dari mereka yang bandel-bandel ada beberapa yang emang nggak mau dicap nggak sopan sama kakak kelas.

"Silahkan."

Dan tanggapan kakak kelas itu beragam, mulai dari yang biasa aja sampai yang ketus luar biasa pun ada. Kita menyikapinya ya—sesuai tujuan kita.

Kalau tujuan kita cuma buat formalitas ya kemungkinan bakalan jengkel dengan jawaban yang samena-mena e e wakawaka e e itu.

Tapi kalau tujuannya emang niat mau menyapa walaupun ketus ya paling diterima, kalau gak jawab minimal senyum.

Semua yang kita lakukan itu tergantung niat kita, kalau dari awal emang niatnya nggak baik ya udah dari niat itu bakalan balik ke kita sendiri.

Tinggalkan teori yang nggak kebukti kebenarannya itu. Sekarang Jeje udah masuk ruangan yang didalamnya di dominasi anak delapan 'A' yang lagi ngobrol, sarapan bahkan saking jeniusnya ada yang belajar. Wow patut dilestarikan, ada anak yang mau belajar pas ulangan. Atau jangan-jangan mereka kemarin nggak belajar dan baru belajar sekarang.

"Hai Sung!" sapa Jeje begitu tau kalau Sung lagi duduk di bangku paling ujung—tepat dibelakangnya.

Bukannya menjawab Sung malah senyum, tapi senyumannya diganti sama muka terkejut waktu Jeje teriak.

"INI TANGAN LO KENAPA MERAH-MERAH LAGI?!" teriaknya seakan udah lupa kalau diluar itu ada kakak kelas yang ganas, mungkin.

"Tidak apa ini cuma terkena tanaman di depan rumah."

"Beneran?"

"Iya Jesslyn."

"Ya udah! Nggak bohong loh ya!"

"Iya."













Waktu melihat kartu identitas yang dipasang dimeja sebelahnya Jeje jadi senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba aja jadi ingat Dah nembak Kak Rangga sama Kak Jeffery.

Bukan apa-apa, tapi persentase dia diterima itu lebih kecil dibanding diterimanya. Jeje kira mereka berdua itu high class, coba kalian bayangkan. Dari kriteria mendekati sempurna kayak Kak Rangga—ganteng?banget, pinter?gak pernah lepas dari lima besar, jago beladiri?menang O2SN itu udah biasa, kedudukan?pernah jadi wakil ketua OSIS bro, sholeh?suaranya bagus gak ada akhlak pas baca Qur'an, rajin salat pula.

Nah coba kayak gitu, pasti kriteria pacar yang diinginkan itu ya nggak mungkin orang biasa-biasa aja. Atau bahkan gak mau pacaran tapi langsung lamaran.

"Eh Jeje!"

Jeje noleh dan mendapati Kak Rangga yang lagi menenteng tas baru kemudian duduk disebelahnya, "Kak Rangga, gue kira sebangku sama siapa kak."

"Syukur deh, gue udah takut kalau ternyata gak sama Lo."

"Cie berharap banget sama gue."

"Baperan! Bukan gitu Je! Gue takut nanti orang yang sebangku sama gue baper lagi."

"Pede banget."

"Lah harus dong! Lagian ya cewek kalo didekat gue gak mungkin gak suka."

"Alah, siapa yang waktu itu curhat habis ditolak gebetan?"

One Class | LengkapWhere stories live. Discover now