32. Kenapa Aku Dibuang?

3.4K 330 21
                                    

Prilly berjalan dengan cepat walaupun sedikit susah karena perutnya yang besar. Ketika ia tau Ali kecelakaan ia bergegas menuju rumah sakit di antar oleh supir pribadinya. Lastri sebenarnya melarangnya karena hari sudah malam dan sehabis hujan pasti jalanan sangat licin. Namun jika Prilly hanya di rumah pun ia tidak akan bisa tidur karena pikirannya akan tertuju kepada keadaan Ali. Selama perjalanan Prilly berdoa agar suaminya itu tidak apa-apa. Kekhawatirannya membuatnya menangis, rasa sesal juga ikut andil karena merasa bersalah sudah mendiami lelaki itu. Baru terasa sekarang oleh Prilly, bahwa perasaannya tidak bisa dibohongi. Ia tidak ingin kehilangan lelaki itu lagi, sungguh. Prilly mencintainya walaupun Ali akan melukainya seberapa pun itu.

"Ma, gimana keadaan Mas Ali?" Tanya Prilly gemetaran ketika ia lihat Hena dan Adam berada di luar ruangan IGD itu.

"Lagi di periksa sayang, kamu jauh-jauh kesini sendirian?" Tanya Hena penuh ke khawatiran menatap dari pucuk kepala Prilly dan ujung kaki yang mulai membengkak itu.

"Iya Ma,"

Pintu ruangan IGD itu terbuka. Mereka mendorong brankar Ali keluar. Lelaki itu tidak menutup matanya, membuat Prilly menangis. Apa yang terjadi? Hena segera merengkuh bahu menantunya itu. Adam mendekati dokter meminta penjelasan.

"Dengan keluarga Pak Zehan?"

"Iya Dok, saya Papa nya." Dokter itu menghela nafasnya. Membuat Prilly dan Hena tak karuan.

"Pak Zehan akan kami operasi sekarang juga, karena ia mengalami cedera parah di kepala."

"Saya yakin, keluarganya akan setuju. Karena tidak ada pilihan lain. Jadi bagaimana Pak?" Sambungnya membuat Prilly dan Hena menatap satu sama lain seakan tak percaya.

"Baik Dokter jika itu yang terbaik untuk anak saya, tolong buatlah yang terbaik." Adam menatap kedua wanita itu yang saling merengkuh lalu mengiyakan permintaan Dokter itu karena tidak ada jalan lain.

Brankar itu di dorong kembali oleh perawat membawanya ke ruang operasi. Prilly dan Hena tak kuasa menahan air mata. Sedangkan Adam berusaha untuk menguatkan. Hampir sejam lampu merah itu hidup di depan ruangan yang menandakan operasi sedang berjalan. Pikiran Prilly benar-benar melayang.

"Ya Tuhan! Jangan ambil nyawa ayah dari anak-anakku." Doa Prilly dalam batinnya. Lampu merah itu akhirnya mati, dokter itu keluar dengan pakaian khas operasi.

"Jantung Pak Zehan tidak stabil, ia sedang dalam keadaan kritis. Kami akan memindahkannya ke ruangan ICU."

"Baik Dokter." Hanya Adam yang bisa meladeni Dokter yang seumuran dengannya itu bicara. Sedangkan Hena dan Prilly berpelukan. Brankar itu kembali keluar, Prilly menangis mengikuti brankar itu. Lelaki yang ia cintai terbaring lemas dengan wajah pucat.

Tin tin tin

Suara monitor itu berjalan dengan baik, yang berarti suaminya itu masih bernafas. Ditatapnya wajah lelaki itu yang sudah penuh dengan alat-alat medis. Lelaki ini kenapa keras kepala sekali? Padahal dirinya sudah melarang untuk pulang malam itu juga. Tetapi kenapa tidak mendengar perkataannya? Ventilator itu sudah menutupi hidung mancung Ali. Alat itu membantu Ali untuk bernafas. Bulu mata lentik Ali masih dapat Prilly lihat. Digenggamnya tangan Ali yang sedang di infus itu. Menciumnya, dengan air mata.

"Aku minta maaf Mas, jangan tinggalkan aku." Prilly terisak.

"Aku ga sanggup hidup tanpa kamu." Lelaki itu masih saja betah tidur membuat Prilly menangis menjadi-jadi. Kepalanya mulai pusing, sangat berat untuk melangkah keluar. Badannya lemas, kakinya sudah tak sanggup menopang berat badannya. Ia luruh jatuh dengan pelan, agar perutnya tidak apa-apa. Matanya menutup, karena sangat lelah menangis hampir semalaman. Perawat yang melihat Prilly pingsan di bawah brankar Ali langsung meminta bantuan kepada perawat lainnya membawa Prilly keluar dari ruang ICU ke ruang IGD. Hena syok ketika menantunya itu sudah terbaring lemas di brankar. Adam pun juga begitu.

Sepuluh BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang