Bab 31

161 7 0
                                    

Kirana sedang duduk di koridor. Di tangannya masih tersisa es yang ia beli satu jam lalu.

"Masuk yuk," kata Dela.

"Es gua belum abis," jawab Kirana.

"Lama banget dah, udah engga ada es nya juga," kata Dela.

Kirana tersenyum kecil. Tujuan ia bukan karena haus tapi menunggu seseorang.

"Del, disuruh masuk sama ka Exel," panggil Gilang diari balik pintu. Dela berdiri.

"Gua masuk ya," kata Dela. Kirana mengangguk dan sahabatnya itu pergi.

Pukul menunjukkan angka 15. Kirana mengecek handphone. Tidak ada notifikasi. Adrian benar benar mengabaikan nya. Pesanpun tidak ada, telpon apalagi.

Apa yang sebenarnya terjadi? Seseorang turun dari tangga. Mata Kirana melebar. Seseorang yang ia harapkan akhirnya muncul. Buru-buru ia membuang minumannya dan berlari ke arah lelaki itu.

"Ka Adrian" panggil Kirana. Adrian berhenti dan menoleh.

Lelaki itu tampak sedikit terkejut, tapi sedetik kemudian berubah seperti biasa.

"Gua duluan ya," temannya pergi meninggalkan mereka.

"Ada apa?" Kirana kaget. Kenapa pertanyaan itu yang pertama muncul?

"Mau kemana?" Kirana pun bingung ingin bertanya.

"Pulang," singkat, padat dan jelas. Kirana membulatkan bibirnya. Suasana menjadi canggung. Tidak seperti biasa.

"Ada apa?" Tanya nya lagi

Tidak. Wanita itu menggeleng. "Enggapapa,"

Adrian mengangguk lalu membalikkan badan dan pergi. Kirana tidak percaya. Begitu saja kah? Benarkah itu Adrian? Sepertinya bukan, Adrian tidak pernah melakukan itu. Adrian yang ia kenal adalah seseorang yang sering kali beradu bacot atau tidak mau kalah ataupun seseorang dengan tatapan ingin mengajak berantem. Diseberang sana, Eza mengamati, Adrian dan Kirana. Ia tau apa yang terjadi, sangat terlihat dari ekspresi wajah Kirana.

Adrian berubah.

---

Rapat dimulai. Kirana duduk di barisan depan. Eza sedang mengkordinir apa saja yang kurang dan apa saja yang harus dilengkapi setiap divisi. Sementara Kirana sedang melamun. Pikirannya masih belum putus dari kejadian tadi. Ada tanda tanya besar. "Ada yang bersedia nemenin gua jadi MC?" Tanya Eza. Hening. Semua devisi punya kesibukan masing-masing Eza melirik ke kiri.

"Lu aja ya?" Eza menunjuk. Kirana mengerjap. "Lu nemenin gua MC," kata Eza lagi.

"Hah?" Kirana masih belum nyambung.

"Fix Kirana yang jadi MC bareng gua," kata Eza dan menulis nama wanita itu.

"Jangan gua ka," Kirana menolak.

"Lu kapan mau berani kalo nolak mulu,"

"Gua aja ka engga papa," sambung Naya.

"Jangan Kirana aja dia belum pernah soalnya," kata Eza lagi. Naya melirik Kirana sinis. Kirana lagi, Kirana lagi.

---

Kirana menatap kosong rintikan hujan. Beberapa kali ia menghela napas dan menundukkan kepala. Ia tidak bawa paying dan Dela sudah dijemput. Eza melihat Kirana sendirian. Langkahnya mendekat dan duduk di samping Kirana.

"Ah.. dinginnya," kata Eza dengan pura-pura menggigil.

Kirana menoleh dan menatap lelaki itu. Ia menggeser sedikit, dan mengalihkan pandangan. Kirana sedang tidak enak bercanda. Eza menoleh dan tidak ada perubahan wajah disana.

"Rindu, mengapa rindu hatiku, tiada tertahan, kau tinggalkan aku seorang," Eza menyanyi lagu dangdut.

"Ih apaan si ka, jelek banget suaranya," Kirana menyikut lengan kanan Eza. Lelaki itu tertawa.

"Lagi rindu neng?" Eza mendekat.

"Idih, siapa juga yang rindu?" Kata Kirana sinis.

"Itu galau," Eza menunjuk wajah Kirana. "Ngeliatin hujan berharap ada pelangi setelahnya," kedua tangan Eza bermekar membentuk setengah lingkaran.

"Au ah, ganggu aja lu, orang lagi nunggu ujan,"

"Nunggu ujan apa nunggu Adrian?"

Kirana memutarkan bola matanya. Benar-benar deh manusia satu ini. Tidak mengerti keadaan.

"Jangan bikin orang emosi deh,"

"Mending nunggu tukang sate, enak pake saus kacang," Kirana sedang malas meladeni. "Kalau lu sayang sama dia, cukup percaya apapun yang terjadi," Kirana menoleh, Eza tau apa yang ia pikirkan.

"Kenapa ka Adrian tiba-tiba jauhin gua ya ka?"

"Lu tanya sendiri," jawab Eza.

"Kalau gua bisa tanya langsung sama dia, gua engga perlu repot-repot tanya ke lu,"

"Kalau lu tanya pasti Adrian jawab ko," Kirana menggeleng.

"Engga, kenapa gua mesti tanya ka Adrian kalau ada lu di depan gua," Eza menggeleng.

"Ini bukan hak gua, lagian gua masih mau temenan sama Adrian," jawab Eza lalu berdiri. "Ujannya udah reda, yuk pulang," Matanya masih menatap lurus. Eza benar-benar tidak ingin menjawab, bahkan memberi petunjuk sedikitpun tidak. Apa memang seharusnya Kirana bertanya kepada lelaki itu?

"Ayo pulang,"

---

Keesokan hari. Pukul 06.00 Kirana sedang di perjalanan.

"Gimana sama Adrian? Udah jadian?" Tanya ka Gilang, kedua alisnya naik.

"Ck, jangan bahas dia ah," mendecak kesal.

"Loh, ko engga?" Tanyanya lagi.

"Udah deh engga usah kepo sama urusan orang," Kirana kesal. Ia sedang tidak mau membahas nama lelaki itu.

"Berantem?"

"Ngapain berantem? kayak anak kecil," kata Kirana sinis.

"Engga mungkin," sahut ka Gilang. "Lu ditinggalin?" Tanya ka Gilang serius. Kirana menoleh kesal

"Diem bisa engga si?" kata Kirana semakin emosi.

"Gua samperin tuh orang," ka Gilang tidak terima adiknya itu dijadikan bahan mainan.

"Engga usah, ngapain si segala nyamperin nyamperin gitu,"

"Gua mau tau kenapa dia kayak gitu, biar jelas urusannya,"

"Nanti gua aja yang nanya,"

"Berarti bener lu lagi berantem sama dia?" Sudah tau Kirana ada masalah dengan Adrian kenapa mesti diperjelas.

"Au ah," Kirana memiringkan badannya menghadap jendela.

Dalam hati ka Gilang tidak percaya Adrian akan mempermainkan adiknya. Masa-masa SMA memang sedang mencari jati diri, baik itu urusan sekolah maupun cinta. Yang ka Gilang lihat, Adrian bukan tipikal lelaki brengsek. Pasti ada sesuatu dibaliknya. Kirana pun juga tidak tau apa. Kalau adiknya tidak bisa menyelesaikan. Biar ka Gilang yang bicara.

---

KIRANA (COMPLETED)Where stories live. Discover now