TigaSatu |•| Sidang pertama

524 51 28
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

RUANGAN bernuansa hijau dengan meja kayu yang tersusun rapi di sayap kanan dan kiri. Tak lupa meja barisan hakim, saksi, penuntut dan pembela terlihat megah dan menyeramkan.

Satu kursi di barisan paling depan, masih terlihat kosong. Karna terdakwa belum dipersilahkan untuk duduk.

Hari ini adalah sidang pertama atas tuduhan pembunuhan yang dilakukan Alena Baneswara terhadap Fikri Adiputra, yang dilaporkan oleh Nesya Daneendira.

Pengunjung sidang mulai berdatangan. Seperti perang dingin, keluarga Fikri dan Alena duduk di sayap berlawanan.

Suasana di sana semakin menegangkan, saat hakim mengetuk palu tiga kali untuk membuka sidang.

Jaksa yang mewakili penuntut mulai membacakan argumentasi yang merupakan tuduhan atas nama Alena.

"Seperti yang kita tahu, Fikri Adiputra ditemukan tewas dalam rumahnya dengan pisau yang masih tertancap di perutnya. Atas nama Alena Baneswara yang menjadi pelapor dan juga satu-satunya saksi mata kejadian pada pukul 12.34"

"Tapi disini ada satu kejanggalan. Untuk tujuan apa, tengah malam saudari Alena pergi ke rumah korban?"

"Apakah ada tanggapan dari terdakwa?"

Sang pengacara yang menjadi wakil terdakwa bangkit dari duduknya. Ia terlihat gagah mengenakan jubah khasnya.

"Seperti pada keterangan saksi, yaitu Alena baneswara. Dijelaskan bahwa saudari Alena sudah menghubungi korban terlebih dahulu pada jam 12.10, tapi tidak ada jawaban. Pada saat itu, ponsel korban masih dalam keadaan aktif. Oleh karna itu, saudari Alena pergi ke rumah korban untuk memeriksa keadaannya secara langsung."

"Juga, diketahui korban mempunyai riwayat insomnia. Saudari Alena berniat untuk mengembalikan obat yang tertinggal dirumahnya. Jika benar saudari Alena lah pelakunya, Ia mungkin akan meninggalkan lokasi kejadian untuk menghilangkan jejak."

Mendengar argumentasi dari pembela, semua yang ada di ruangan itu mulai berbisik-bisik.

Graziell yang duduk di samping Kenzie ikut menggigit bibir. Baru pertama kali Ia menyaksikan persidangan. Ternyata semenegangkan ini.

Melihat gelagat gadisnya yang cemas, Kenzie menggenggam lengan Graziell yang sudah terasa dingin. "Tenang, Graziell."

Dengan tenangnya, penuntut tersenyum. Sepertinya ia siap menyampaikan sanggahannya. "Itulah yang janggal. Mengapa saudari Alena tidak kabur dan lebih memilih menelpon polisi? Apakah ia ingin mengelabui agar tidak terlihat seperti pelaku? Perlu diketahui, sudah tiga bulan, korban tidak mengonsumsi obat dari dokternya. Kami disini sudah mendatangkan dokter tersebut, dan juga surat pernyataan tentang kondisi insomnia korban."

"A-aku tidak tentang itu! Fikri gak pernah bilang kalau dia udah gak pake obat itu lagi, hiks hiks.." tiba-tiba Alena berdiri dan angkat bicara.

"JANGAN PERCAYA!! DIA MEMANG WANITA MUNAFIK!!!" wanita paruh baya ikut berdiri. Ia tak lain adalah Ibunda Fikri.

"Mohon tenang! Sidang akan dilanjutkan."

"Disini kami akan menyebutkan fakta-fakta pada saat kejadian. Pertama, saudari Alena datang ke lokasi kejadian pukul 12.32 dimana itu tidak ada kemungkinan kalau saudari Alena lah yang menjadi pelaku. Karna hasil otopsi menyatakan, bahwa korban sudah tidak lagi bernyawa sekitar 20 menit, sebelum saudari Alena datang.

"Kedua, keadaan Alena pada saat itu terlihat bersih tanpa noda darah. Bukankah di lokasi kejadian ada cipratan darah disekitar tembok dan lantai? Jika benar saudari Alena yang menjadi pelaku, harusnya Ia juga terkena cipratan darah itu."

"Ketiga, tidak ditemukan sidik jari saudari Alena pada benda-benda di lokasi kejadian. Termasuk pisau, yang menjadi penyebab kematiannya."

Bunda Alena mengangguk sambil menahan tangis. "Itu benar. Alena bukan pelakunya. Dia adalah putri kami yang sangat baik." gumamnya dengan nada yang bergetar.

Nesya yang duduk di kursi sebelah jaksa, menatap Alena sinis. Gertakan giginya terdengar jelas. "Inilah saatnya, mengeluarkan bukti utama."

Jaksa kembali berdiri. Ia mengeluarkan baju berbalut plastik transparan. Alena yang duduk di kursi paling depan melotot tak percaya.

"Kami akan mengeluarkan bukti. Baju ini akan menjawab pertanyaan mengapa tidak ada cipratan darah pada pakaian saudari Alena. Satu hari sebelum sidang ini dimulai, saudari Alena sengaja membakar baju ini di depan rumahnya. Kami memiliki video yang menjadi bukti itu. Ternyata, baju yang saudari Alena bakar terdapat cipratan darah di sekitarnya. Memang, belum ada keterangan bahwa darah yang ada baju ini cocok dengan DNA korban, tapi kami yakin saudari Alena lah yang menjadi pelakunya."

Mata Nesya berkaca-kaca. Ia tersenyum pada Kenzie. Setelah sidang ini selesai, Ia harus berterima kasih pada sahabatnya itu. Jika bukan karena Kenzie yang menemukan bukti ini, mungkin kebenarannya tidak akan terungkap.

Dari tempat duduknya, Kenzie membalas senyuman Nesya sambil mengangguk pelan.

Setelah hakim dan juri berdiskusi cukup lama, akhirnya hakim mengetuk palu satu kali tanda sidang ditunda sampai keluarnya hasil tes DNA pada baju itu.

•••

Hampir semua pengunjung persidangan keluar dari dalam ruangan. Sedangkan Alena, masih duduk di kursi paling depan. Graziell datang menghampiri Alena.

"Al..."

"Ziell.." Alena langsung menghambur ke pelukan Ziell. Gadis itu terlihat sangat frustasi, menangis sejadi-jadinya.

"Lo percaya kan sama gue Zie? Gue gak salah hiks hiks.."

"Kenapa semua orang gak percaya sama gue. Gue bukan pelakunya!! hiks.. hiks.."

Graziell dilanda kebingungan. Ia ingin mempercayai sahabatnya, tapi bukti yang ditunjukkan tadi semuanya mengarah pada Alena. Akhirnya Graziell memilih diam, mengusap punggung Alena, mencoba menenangkan.

"Ziell, jawab gue! Lo percaya kan, kalo gue bukan pelakunya? Tolong jawab gue!!... Hiks hiks.."

Graziell melepaskan pelukannya. Ia menyeka air mata Alena yang tidak dapat berhenti mengalir. "Sekarang Lo pulang, istirahat." ucap Graziell.

"Jadi, Lo gak percaya sama gue?"

Pertanyaan Alena membuat Ziell terbungkam. "Ziell, gue sahabat Lo! Kenapa Lo gak percaya?!?"

"Ta-tapi bukti tadi.." Graziell menunduk, tak mampu menatap kedua bola mata sahabatnya.

"Ziell, ayo." ajak Kenzie menarik pergelangan tangan Graziell untuk pergi dari tempat itu.

Diam-diam Alena mengepalkan tangannya. Ia marah dan kecewa, tidak ada orang yang mempercayainya. Ini semua tidak adil, batin Alena.

.
.

Note! : Percaya sama orang itu hanya butuh 50%, sisanya simpan. Persiapan, siapa tau ada penghianatan. -Dn

To be continue.

Harus aku bilang, ini beneran part terseruu yang pernah aku ketik wkwkwk

Maaf kalo ada keliru, aku masih belajar bikin cerita sidang" gini hahha😬

Salam semanis dairyymilk❤️🍫
See you dichapter selanjutnya!

03 Mei 2021

Love, Dinn.

KENZIELLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang