SembilanBelas |•| Taman Kenangan

713 77 57
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

SEORANG gadis cantik, tengah duduk disalah satu kursi cafe dengan sesekali mengetukkan jarinya diatas meja. 10 menit sudah ia menunggu Fikri, kekasihnya. Ya, orang itu adalah Alena.

Ia kembali mengecek ponsel yang tergeletak dimeja, berharap satu pesan muncul dilayar benda pipih itu. Namun tiba-tiba, satu tangkai bunga mawar merah disodorkan dari belakang. Alena menoleh ke arah kiri, kedua sudut bibirnya terangkat mengulas senyum lebar.

"Udah nunggu lama?"

Alena menggeleng. Tangannya menyambut bunga mawar itu kemudian menghirup aromanya. "Ngga kok, baru aja sampe." Jawabnya berbohong.

"Maaf, kemaren aku tiba-tiba ninggalin kamu gitu aja."

"Udalah, jangan dibahas. Namanya juga urusan mendadak."

Fikri mengusap puncak kepala Alena, layaknya seekor kucing. Beruntunglah dia punya kekasih se pengertian Alena.

"Mau makan apa?"

"Minum aja deh, tadi udah makan Fik."

Tring

Fikri merogoh ponselnya dari kantong jaket. Raut wajahnya terlihat panik, meski tidak terlalu diperlihatkan.

"Kenapa?"

"Biasa, temen." jawab Fikri sesantai mungkin.

"Minggu depan, kamu ada acara?"

"Meskipun ada, nanti aku batalin acaranya." jawab Fikri yang membuat Alena tertawa pelan.

"Aku pengen ke puncak. Udah lama juga kan, kita ngga jalan-jalan?"

Fikri mengangguk. Tangannya membelai lembut pipi Alena sambil tersenyum.

Drrrtt drrtt

Fikri kembali mengecek ponselnya. Kali ini bukan sebuah pesan, tapi panggilan telepon. Ia memilih menggeser tombol merah pada layar ponselnya.

"Kenapa ngga diangkat?"

"Gak penting juga."

Tring

Satu pesan muncul membuat Fikri berdecak. Ia usap rambut hitamnya ke belakang. Menghela nafas panjangnya, Lalu ia genggam tangan Alena.

"Kalau hari ini aku pergi lagi, kamu marah?"

"Mau kemana?"

"Ke rumah Hendrik, ada projek yang harus aku kerjain dirumah dia."

Alena tersenyum, membalas genggaman tangan Fikri. "Mana mungkin aku marah."

Fikri beranjak dari duduknya, berjalan ke belakang kursi Alena lalu merangkulnya dari belakang. Ia kecup puncak kepala Alena sambil membelainya lembut.

KENZIELLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang