Part 38 - Bandung

506 68 8
                                    

Menjelang jam tiga sore, Han Mi Ra sudah sampai di bandara Husein Sastranegara. Dengan mantap, dia melangkah menuju exit door. Dia tidak perlu menunggu barang dari bagasi karena yang dibawa hanya tas punggung ukuran sedang yang melekat dengan sempurna di belakangnya.

"Cibeunying ya Pak," kata Mi Ra pada bapak sopir taxi. Karena lebih praktis dan lebih murah menggunakan angkutan umum ini di Bandung dibandingkan di Seoul, Mi Ra lebih memilih naik taxi menuju rumah bibinya.

Aku sudah sampai dan sekarang menuju rumahku. Aku merindukanmu.

Terkirim.

Mi Ra tersenyum dan mengalihkan matanya ke arah jalanan setelah mengirimkan pesan ke Mi Ho. Mi Ra merindukan jalanan di Bandung. Banyaknya kios-kios maupun toko-toko yang meramaikan ruas jalanan tentu menjadi sesuatu yang tidak bisa lihat di Seoul. Di sinilah Mi Ra tumbuh. Di sini pulalah Mi Ra menjadi seseorang yang lebih kuat menjalani hari-hari tanpa orang tuanya.

Rumah yang dimiliki orang tua Mi Ra dulu dijual tidak lama setelah dia pindah ke rumah Gendis. Dia meringis saat kenangan tersebut melintas di benaknya. Baginya dulu, sekolah menjadi semacam pelarian terbaik dan menjadi beban di saat yang sama.

Dia merasa bisa bernapas lebih lega saat di sekolah dengan teman-temannya. Namun juga sekolah menjadi beban berat di pundaknya. Sedetik saja dia lengah soal pelajarannya, kata-kata bibi dan pamannya akan secara otomatis mengingatkannya dengan sangat lantang. Bagi mereka, Mi Ra menambah pengeluaran mereka untuk membayar sekolahnya. Karena itu, Mi Ra selalu mengejar beasiswa di sekolah.

Mi Ra tidak pernah bertanya ke mana uang hasil penjualan rumah orang tuanya. Dia terlalu tidak berdaya sendirian. Dan mau tidak mau, Mi Ra tetap harus berterima kasih kepada mereka karena masih mau menampung dirinya.

Setelah menyebutkan nomor rumahnya, tidak seberapa lama taxi yang dia naiki berhenti di depan semua rumah bergaya klasik. Rumah dengan halaman yang sangat luas, pagar putih pendek, dan atap miring berwarna merah bata sekarang ada di depannya. Mi Ra menghela napas panjang. Aneh rasanya tidak merasakan rindu pada hunian yang sedang ditatapnya saat ini sedikit pun.

Setelah membayar bapak sopir, Mi Ra melangkah masuk dan membuka pagar yang tidak terkunci. Saat sudah di depan pintu, dia bingung apakah harus mengetuk rumah atau tidak. Tidak ingin membuat bibinya marah, Mi Ra pun membuka pintu dan bersyukur pintu tidak dikunci.

"Kau sudah sampai?" Gendis keluar dari arah kamar mandi sedikit mengagetkan Mi Ra. Pertemuan mereka yang terakhir bukanlah kejadian yang menyenangkan. Mi Ra berani bertaruh dia sudah menceritakan hal tersebut pada orang tuanya dengan versinya sendiri.

Setelah mengucapkan tiga kalimat tadi, Gendis dengan santai melenggang masuk ke dalam kamarnya tanpa bertanya lagi pada Mi Ra atau menunggu jawaban apapun. Sudah cukup terbiasa dengan ketidakramahan tersebut sehingga tidak ada sedikit pun rasa heran atau aneh, Mi Ra juga masuk ke dalam kamarnya.

Segala sesuatu di dalam kamarnya masih sama. Mungkin juga bibi, paman, dan Gendis juga tidak berkenan untuk masuk ke dalam kamarnya selama dia tidak di sini. Kamarnya tidak terlalu besar, sempit malah bisa dibilang. Cat hijau pastelnya sudah tampak memudar. Kasur ukuran single pun sudah membuat ruangan ini sesak. Hanya ada meja lipat kecil dan rak terbuka yang menempel di dinding di mana dia biasanya menaruh buku-buku dan pakaiannya di sana.

Sekarang rak tersebut lebih lowong dari saat dulu dia masih di sini. Dia merutuki dirinya sendiri yang sekarang merasa kamarnya kecil sekali. Dia dulu sudah cukup bersyukur saat berada di kamar ini. Kamarnya ini tentu menjadi bagian paling damai di dalam rumah ini. Sejak tinggal di rumah Mi Ho, Mi Ra jadi melihat segalanya berbeda. Tiba-tiba dia merasakan rindu pada pria itu.

a Fan, an Enemy, but Then a Lover [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang