s e m b i l a n

273 52 2
                                    

"Ada kondisi dimana, semua ucapan yang kita anggap janji, percayalah bahwa sejatinya itu adalah kebohongan."

Mengapa demikian? Karena sebagian orang mudah untuk mengucapkan janji, tapi terkadang mereka tidak sanggup untuk memenuhinya.

Hanya untuk menenangkan hati yang sedang resah.

***

Aku bangun pagi sekali hari ini. Kulirik jam yang berada di atas mejaku, ternyata baru menunjukkan pukul 6 pagi. Tidurku memang sedikit terganggu. Aku terus tersenyum memikirkan waktu-waktu bahagia datang menghampiri pernikahanku dan Wonwoo. Bisa-bisanya ia berucap begitu manis, membuatku tak bisa berhenti memikirkannya.

Setelah mencuci wajahku dan menyikat gigiku, aku langsung keluar dari kamar, masih memakai piyama bergambar beruang. Aku menuju dapur dan meminum segelas air hangat yang sudah menjadi kebiasanku. Katanya, itu sangat baik bagi kesehatan. Kalian boleh coba, deh!

Aku membuka kulkas, bahan-bahan makanan ternyata hampir habis. Untuk itu, aku hanya mengambil bahan yang tersisa dan segera memasaknya. Sepertinya aku harus pergi berbelanja sepulang kerja tadi.

Aku membuat makanan sembari bersenandung riang. Aku memang tergolong manusia yang menyukai musik. Namun, akhir-akhir ini aku tak bisa mendengar lagu karena kesibukanku yang tergolong padat.

Saat aku sedang memasak makananku, aku langsung berbalik kebelakang dan menemukan Doyeon yang bersandar di tembok, samping meja makan. Aku sedikit terkejut, namun sebisa mungkin aku tak menunjukkan rasa tak sukaku padanya.

"Kamu mau makan? Bentar lagi selesai." Ucapku pada Doyeon. Ia melirikku tak suka, untuk itu aku memilih berbalik dan melanjutkan acara masakku.

"Kamu pura-pura bodoh atau bagaimana, sih?" Ucap Doyeon. Ini masih pagi, namun ia seakan-akan menaikkan bendera perang.

"Maksud kamu apa?" Tanyaku, namun aku enggan untuk menatapnya.

"Kamu kira aku tidak dengar apa yang kamu dan Wonwoo bicarakan semalam?"

"Terus? Masalahnya dimana?" Aku jelas menanggapinya dengan santai, tidak ingin terlihat kalah di depan Doyeon.

"Udah aku bilang berapa kali, lepasin Wonwoo. Wonwoo itu milikku dan itu tidak bisa diganggu gugat. Kamu hanya beban baginya, tak bisa membahagiakannya bagaimanapun kamu mencobanya. Kamu tidak usah memaksa keadaan, karena aku tidak akan semudah itu meyerahkan Wonwoo. Jangan mentang-mentang kamu istri sahnya, kamu dengan seenaknya menarik Wonwoo dariku yang suda bersamanya dari 5 tahun yang lalu. Kamu harus ingat, Wonwoo bangkit dan bahagia itu karena ada aku. Hanya aku!"

Aku hanya mampu berkata, Wow! Ucapannya panjang sekali. Dia seperti mengomel pada anak kecil yang ketahuan mencuri permen. Aku berbalik menatapnya, bersikap biasanya saja seakan-akan aku tidak emosi mendengarnya, padahal aku ingin sekali menamparnya.

"Bahagia itu memang sulit. Aku tahu, karena kita manusia biasa. Tapi, apa salahnya aku mencoba untuk menjalani pernikahanku dengan Wonwoo? Lagipula, kami sudah sepakat dan dia menyanggupi itu. Jadi, lebih baik kita menjalani hidup masing-masing dan mencoba mencari kebahagiaan yang kita anggap patut diperjuangkan. Karena kebahagiaanku itu Wonwoo, maka aku akan perjuangkan. Kamu terima atau tidak, itu hak kamu." Jelasku.

Mukanya memerah, tentu itu karena ia sedang berusaha untuk tidak tersulut amarah. Tapi, ia tak pernah menyerah untuk terus mendesakku.

"Kamu ini plin-plan banget, tahu gak?! Kemarin-kemarin tidak mau sama Wonwoo, sekarang kamu mau perjuangin dia. Kamu serakah banget, Kim Sejeong!"

The PoliceWhere stories live. Discover now