s e m b i l a n b e l a s

246 49 0
                                    

Kebahagiaan bukan pilihan, melainkan keharusan yang memang diturunkan Tuhan untuk dimiliki semua orang. Lantas, untuk apa kita memilih kebahagiaan mana yang akan ditempuh. Cukup untuk menikmati bagian hidup dan relakan semua hal yang memang menurut kita berat. Pasti, suatu saat nanti, Tuhan beri jawaban apa yang terbaik untuk hidup kita semua.

***

Setelah melakukan penyelidikan bersama dengan rekan timku. Aku memutuskan untuk tidak pulang terlebih dahulu, ada banyak misteri dari kepergiaan para korban pembunuhan berantai.

Aku duduk di depan komputerku saat ini. Memperhatikan bukti video yang tidak pernah terungkap selama ini. Dihadapanku juga terdapat foto-foto yang telah menjadi korban selama ini. Lantas, tanpa berpikir panjang, aku mencocokkan beberapa orang yang telah menjadi korban.

Sebenarnya, videonya tidak terlalu jelas. Mungkin hal ini terjadi karena CCTV yang ada berada dalam kawasan tambang yang keadaannya cukup ekstrem. Baru tiga korban yang bisa aku yakini, karena wajahnya tertangkap jelas di kamera. Tetapi yang lain aku masih bingung.

Ada 6 orang di video tersebut yang menjadi pelaku pembunuhan, sedangkan yang meninggal sudah 5 orang. Berarti sisa satu lagi dan permainan akan dilanjutkan padaku.

Aku semakin frustasi, hidupku berasa di ambang jurang saat sang pelaku dengan gagahnya mengancamku. Aneh emang, apalagi kalau dipikir-pikir, bukan aku polisi utama yang melakukan penyelidikan itu. Aku hanya mengambil bagian akhirnya, sedangkan hal lainnya telah ditangani terlebih dahulu oleh temanku.

Aku ingin marah, tapi sudahlah. Namanya hidup kadang memang sangat susah untuk ditebak. Berada dalam lingkaran kegelapan tanpa jalan keluar, itu sama sekali bukan pilihanku. Benar-benar jebakan.

Seseorang mengetuk pintu ruanganku. Belum ku persilahkan masuk, ia terlebih dahulu membuka pintu itu dan memberi celah setengah. Ternyata itu Wonwoo, kuputuskan untuk segera mematikan komputerku.

Aku memalingkan wajahku, mengambil ponselku untuk kumainkan. Terserah, apa saja yang dapat aku buka. Karena aku lagi malas untuk berurusan dengan Wonwoo.

"Sejeong.. Kamu sudah makan? Atau lelah? Ayo kita pulang, akan aku buatkan makanan untukmu." Ucapnya. Nada suaranya tak lagi dingin seperti dulu, tetapi ia sematkan nada pelan nan perhatian. Ini yang membuatku susah untuk marah lebih lama dengan Wonwoo.

"Tidak, aku baru saja selesai makan. Aku masih banyak urusan. Kalau kakak mau pulang, pulanglah duluan. Aku pulang nanti." Jelas aku tidak ingin pulang sekarang. Aku masih ingin tinggal di tempat ini dan mencari tahu semua kebenarannya.

"Sejeong, kamu masih marah?" Tanyanya. Sekarang nadanya lebih sendu. Takut-takut jika aku tidak mempedulikannya lebih lama lagi.

"Marah? Untuk apa aku marah?"

"Siapa tahu kamu masih kesal sama aku. Tapi, aku benar-benar minta maaf, Sejeong."

Aku sedikit menatapnya dengan tatapan tajamku, tidak ku beri celah sedikit pun untuk merasa iba pada Wonwoo. Satu sisi, aku sudah memaafkannya. Namanya manusia, ada saja kesalahan yang ia lakukan. Tapi satu sisi, aku kesal setengah mati padanya.

Wonwoo mendekat padaku, berlutut di sampingku. Bukan berlutu seperti orang yang memohon, hanya saja ia tidak mengambil kursi lain untuk duduk. Sehingga ia menemaniku duduk dengan cara seperti itu. Bahkan, tangannya sudah sibuk ia lingkarkan dan bergelantungan di lenganku.

Aku melirik Wonwoo, kali ini dengan tatapan sebalku. Tapi ia sama sekali tidak pergi dari sana. Ia malah menampilkan wajah sendunya, berharap aku memaafkannya saat itu juga. Kalau sudah seperti ini, mana aku tega tidak memaafkan Wonwoo? Begini-begini dia suamiku, sehidup sematiku.

The PoliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang