d u a p u l u h

273 46 0
                                    

Aku, seperti sudah kehabisan kata-kata. Kehabisan tenaga untuk sekedar berpikir apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Setelah semalaman aku menangis hingga tak sadar matahari telah menyapa, aku mendapat kabar kalau ibuku kembali memasuki masa kritisnya.

Aku saat ini tengah duduk bersandar, di ruang ICU yang kini padat pengunjung yang menunggu seseorang terkasih, sama sepertiku. Ingin sekali aku masuk, memeluk ibuku sendiri dan menumpahkan segala kepedihan hatiku yang aku pendam selama ini. Tapi sayangnya, ada batas yang menghalangiku.

Aku menjambak rambutku sendiri, mencoba menyabarkan hati yang tampaknya butuh semangat dari diri sendiri. Namun, rasanya begitu sakit. Apakah aku bisa menjadi kuat saat dua orang tersayangku berada diambang batas?

Aku mendengar suara langkah kaki mendekat, mengangkat kepalaku dan melihat bahwa kak Nayoung, kak Seuncheol, dan Yoori yang langsung berlari ke arahku.

Mereka bertiga kompak berlutut disebelahku, guna untuk mensejajarkan tinggi kami. Aku langsung ditarik oleh kak Nayoung, masuk ke dalam pelukan hangatnya. Kurasakan cara memeluknya sama seperti ibuku, itulah mengapa kak Seungcheol begitu beruntung memilikinya.

"Sejeong.. Ada kami disini, jangan sedih lagi." Kak Nayoung mengelus pundakku, untuk itu aku merasa sedikit lebih tenang dibanding sebelumnya, meski masih merasa kacau.

Kami berempat larut dalam suasana sedih, menunggu kepastian hingga kabar bahagia itu datang. Namun, entah sudah berapa lamanya kami berada di ruang tunggu seperti ini, ibu kami masih setia untuk menutup matanya, tak ada perkembangan. Bahkan, dokter sudah memperingati kami untuk bersabar hingga kabar selanjutnya.

Ponselku berdering, menampilkan nomor Wonwoo yang sudah berkali-kali menghubungiku. Jujur, aku sedih sekali. Ingin sekali jariku menekan tombol berwarna hijau itu dan dengan penuh senyuman membalas setiap ucapannya. Namun, hal itu aku tahan agar perasaanku tidak semakin membesar padanya. Padahal, aku rindu setengah mati pada suami yang hampir dua tahun bersamaku.

Ponselku kemudian berdering, kali ini dari orang yang berbeda. Kulihat nama Seungkwan yang kali ini terpajang disana. Aku segera mengangkatnya tanpa menunggu waktu lama.

"Halo?"

"Halo, bu. Barusan ada laporan masuk, katanya ada lagi pembunuhan terjadi. Sekarang saya sama Dino dan tim pak Wonwoo menuju ke sana."

Jantungku berpacu kuat, aku terlalu larut dalam masalahku sendiri hingga akhirnya aku melupakan korban selanjutnya. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, agar korban lain tidak berjatuhan lagi. Lalu, kenapa aku tidak bertindak cepat?! Oh Ya Tuhan.. Aku melakukan kesalahan fatal!

"Lokasinya dimana? Bisa kirimkan sekarang? Saya berangkat sekarang juga."

"Baik, bu. Saya kirimkan lokasinya sekarang."

Panggilan terputus begitu saja. Aku langsung bangkit dari dudukku dan segera berlari keluar dari rumah sakit dan menuju parkiran. Satu pesan singkat masuk dan kulihat itu adalah lokasi dimana pembunuhan selanjutnya terjadi.

Aku langsung menancap gas secepat mungkin, melewati banyak mobil yang terlebih dahulu terjun ke jalan dibanding aku.

"Tolong, selamatkan nyawanya.. Selamatkan nyawanya.." Aku berusaha berdoa, agar korban selanjutnya tak terlalu parah. Tapi aku kembali berpikiran negatif jika mengingat bagaimana brutalnya pelaku itu membunuh semua korban.

Aku membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai di rumah korban yang sudah bergaris polisi. Aku langsung masuk ke dalam, dan kulihat kondisinya jauh lebih parah dari orang-orang sebelumnya.

Aku berjalan lemas memasuki rumah korban, air mata sudah menggenang, sedetik lagi hingga jatuh membasahi pipi. Saat kulihat korban itu siapa, aku langsung terjatuh ke lantai dan menangis sekeras-kerasnya. Kulihat Hoshi langsung mendekatiku, bahkan Wonwoo yang juga ada di tempat kejadian langsung memelukku dengan erat.

The PoliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang