e m p a t b e l a s

277 51 0
                                    

Ada banyak skenario hidup yang belum tertebak akhirnya, bisakah aku berjuang untuk akhir terbaik?

Mungkin kita berpikir begitu singkat untuk menebak akhir, padahal takdir belum memutuskan apapun. Lalu, mengapa kita begitu negatif memikirkan akhir yang tak bahagia?

Bisakah kita menjalankan hari bahagia tanpa memikirkan akhir?

***

Sejeong kembali beraktivitas setelah seminggu menghilang. Ia bahkan telah kembali ke apartemen, dimana ia dan Wonwoo tinggal bersama.

Tidak ada yang berubah, hanya saja suasana menjadi lebih dingin, lebih dingin dari sewaktu awal mereka tinggal bersama. Jarang sekali tercipta pembicaraan hangat seperti sebelumnya. Bahkan ketika Wonwoo si patung es berjalan itu memancing kehangatan obrolan, Sejeong akan menanggapinya dengan sebuah senyuman tipis.

Wonwoo memaklumi, mungkin Sejeong masih tidak bisa menerima sifatnya yang kelewat 'bajingan'. Membuat orang lain mengandung benihnya, meski sebenarnya ada istri yang harus ia bahagiakan.

Wonwoo tidak berhenti disitu saja, ia terus-menerus membujuk Sejeong. Menyuapinya saat makan, memberi pelukan hangat, ciuman pagi dan sebelum tidur yang rutin diberikan, serta perhatian khusus yang senantiasa Wonwoo berikan.

Reaksi Sejeong? Tidak menolak. Hanya saja Sejeong agak risih, perasaannya acak-acakan. Disatu sisi, ia begitu bahagia Wonwoo berubah dan menjadi suami sesungguhnya untuknya. Disatu sisi, ia terus merenungkan fakta bahwa Wonwoo memiliki orang lain yang harus dijaga melebihi dirinya, karena itu tanggung jawab Wonwoo.

Sejeong takut. Takut jika cintanya semakin besar terhadap Wonwoo, tapi Wonwoo semakin menjauhinya. Apalagi jika nanti anaknya lahir ke dunia yang penuh lelucon ini, perlahan-lahan Wonwoo akan memusatkan perhatiannya pada anak itu. Dan Sejeong, akan dilupakan. Hal yang paling parah adalah ketika Wonwoo melepaskannya.

Pagi ini, Sejeong sudah siap dengan pakaian olahraganya, begitu pun dengan Wonwoo. Mereka akan mengikuti pelatihan menembak yang rutin dilakukan oleh aparat kepolisian setiap hari jumat, itupun jika mereka tidak memiliki jadwal padat.

Seminggu Sejeong menghilang, Wonwoo mengaku bahwa ia yang menyelesaikan beberapa tugas Sejeong. Sejeong pun berterima kasih atas hal itu, setidaknya ketika ia masuk ke kantor, pimpinannya tidak akan begitu memarahinya karena kasus yang terbengkalai.

Sehabis sarapan, Sejeong langsung melangkahkan kakinya untuk keluar dari apartemennya. Namun, dengan cepat Wonwoo menahan tangannya.

Sejeong berbalik, "Kenapa, kak?"

"Ayo kita berangkat bareng. Mulai hari ini, ayo kita berangkat ke kantor bersama." Ucap Wonwoo.

Sejeong menggeleng, "Nanti kita ketahuan, kak."

"Apa yang salah kalau orang-orang tahu kita sudah menikah?"

"Bukan begitu. Banyak yang tahu kak Wonwoo sering datang bareng Doyeon. Gimana jadinya kalau tiba-tiba kakak datang bareng aku?"

Wonwoo berpikir sejenak, "Lupakan. Kamu tetap berangkat sama aku."

Sejeong memilih mengalah, akhir-akhir ini ia tidak punya tenaga untuk berdebat dengan siapapun. Seakan-akan jiwa garangnya hilang dibawa angin.

Setelah Wonwoo dan Sejeong memakai sepatu, Wonwoo langsung menarik tangan Sejeong untuk ia genggam. Berjalan bersama hingga tiba di mobil. Mereka langsung berjalan menuju kantor polisi, tempat dimana mereka menjalankan kewajiban masing-masing.

The PoliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang