d u a p u l u h t i g a

291 48 0
                                    

Aku dan Wonwoo saling menatap di atas tempat tidur kami. Aku melihat bagaimana tatapannya seakan menusuk jantungku serta hatinya seolah berbisik di telingaku, mengatakan bahwa dia menyesali semua yang telah ia lakukan.

"Kenapa aku bisa sekacau ini?" Wonwoo bertanya padaku. Disela-sela kami saling menyalurkan rasa, Wonwoo menitikkan air matanya.

"Kak.."

"Keluargaku, mereka sudah banyak menyakiti keluarga kalian. Dan aku, menyakitimu, Sejeong.. Aku tidak tahu hatimu terbuat dari apa, kenapa kamu masih bisa menerima aku setelah apa yang telah aku lakukan ke kamu?"

"Kak.."

Air mata Wonwoo semakin deras, "Aku hancur banget. Bahkan seribu maaf pun, tidak bisa menebus apa yang telah aku dan keluargaku lakukan sama kamu."

"Berhenti menyalahkan diri sendiri, kak."

"Tapi memang aku salah, Sejeong.. Aku salah."

Aku sedikit menggeser tubuhku, mendekat ke arah Wonwoo dan memelukkan. Posisi baring dan saling menatap seperti ini, lebih mengundang suasana sedih dari kami berdua. Bahkan ketika kami tertidur bersama pun, kami tidak pernah sedekat ini untuk saling bercerita banyak hal.

"Semua sudah terjadi. Masa lalu tidak bisa diubah, hanya bisa disesali tetapi bisa dilupakan. Sekarang, saatnya kita untuk menatap masa depan. Memikirkan untuk berjalan lebih baik dan tidak melakukan kesalahan yang sama. Itu yang penting."

Aku mencoba untuk menenangkan Wonwoo, ia semakin meneteskan air matanya. Aku tidak pernah melihat Wonwoo sehancur ini. Ia yang biasanya dingin dan tegas, tiba-tiba menunjukkan semua sisi lemahnya di titik terendah ini.

"Aku minta maaf, Sejeong. Tidak ada kata yang ingin aku ucapkan selain minta maaf. Aku menyesali semua yang aku dan keluargaku lakukan sama kamu."

"Sudah, sudah. Jangan bahas hal itu lagi, aku sudah memaafkan yang terjadi. Tinggal Tuhan dan dunia yang mengadili sisanya. Kita semua manusia biasanya, tidak ada yang sempurna dari kita. Wajar jika kita punya kesalahan, mau itu besar atau kecil."

Aku lantas menarik Wonwoo, tenggelam dalam ceruk leherku. Aku biarkan ia menumpahkan semua tangisannya yang selama ini ia pendam.

Pada dasarnya, semua manusia sama. Mau dia laki-laki atau perempuan, kita semua sama. Jadi saat lelaki menangis, itu sangat wajar untuk mereka lakukan. Mereka tidak ingin menangis, bukan karena mereka kuat. Tapi karena perkataan orang-orang yang selalu membuat mereka untuk terlihat kuat.

Lelaki itu adalah kuat.

Lelaki itu pelindung wanita.

Jangan cemen, kamu laki-laki! Harus kuat.

Otot saja gede, hati selembut kapas! Jangan, harus kuat.

Perkataan-perkataan itu yang sebenarnya harus diminimalisir. Karena, tidak semua lelaki mampu sekuat baja. Lelaki juga butuh menangis, lelaki juga punya titik terlemah. Jadi, berikan lelaki kesempatan untuk menjadi manusia pada umumnya.

Malam ini, kuberikan Wonwoo haknya untuk menjadi manusia biasa. Ia tak berhenti menangis meskipun sudah kukatakan bahwa aku baik-baik saja. Sepertinya, bayangan akan Doyeon yang berkhianat, dirinya yang mendua dariku, orang tuanya yang melakukan penggelapan dana di perusahaan keluargaku, terus terbayang hingga ia merasa sangat frustasi.

"Kak, tatap aku!" Aku sedikit mendorong tubuh Wonwoo, menangkup kedua pipinya untuk menatap mataku.

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Tanamkan kata-kata ini dalam pikiran kakak. Sekarang kakak boleh menangis sepuasnya, tetapi besok kakak harus bahagia. Lebih tepatnya kita sambut bahagia itu. Jangan selalu merasa terbebani dengan semua yang telah terjadi. Kita akan bahagia seperti apa yang telah kita ucapkan di janji pernikahan kita. Okey? Jangan sedih lagi kak, aku ada untuk bahagia bersama kakak."

The PoliceWhere stories live. Discover now