d u a p u l u h s a t u

266 50 2
                                    

Hari kelam yang tak ingin kujemput, tak ingin terjadi, dan tak pernah aku harapkan. Melepas orang yang begitu penting, begitu berjasa, rasanya seperti membelah hati menjadi dua. Ingat saat kenangan berputar kembali, saat seorang pria cinta pertama sang anak pergi begitu saja. Membuatku trauma untuk ditinggalkan kedua kalinya oleh orang yang kusayangi. Tapi, hari ini datang. Mau tidak mau, takdir berkata untuk perlahan mengikhlaskan yang sudah seharusnya terjadi.

Aku memandangi makam ibuku, menangis disana untuk yang kesekian kalinya hari ini. Mataku sudah sangat bengkak, tapi tertutupi dengan kacamata hitam yang kupakai saat ini.

Saat ini aku sendirian, tidak ada siapapun di dekatku. Kak Seungcheol dan Yoori sudah pulang duluan bersama kak Nayoung, soalnya kak Nayoung kelelahan. Wonwoo juga sudah pergi beberapa saat yang lalu, ia terus-menerus mendapat panggilan dari Doyeon. Untuk itu, aku mengizinkan ia untuk pergi menemani Doyeon.

Aku mencoba bangkit dari keterpurukan saat ini, namun kenyataan seakan mendorongku untuk kembali. Ada banyak permasalahan yang masih menjadi teka-teki dari akhirnya, sudah berulang kali aku mencari jawabannya namun tak ditemukan pula.

Hingga saat dimana aku merasa menyerah, ibuku lantas berpesan sebelum kepergiannya, "Ada banyak hal tersulit dalam hidupmu saat ini, tapi semuanya pasti berakhir dengan indah. Entah dimana, entah bersama siapa, dan entah apa yang akan terjadi. Yang pasti, hal itu adalah hal terindah."

Aku menghela napasku berat, ketika dirasa tubuhku sudah mulai melemah dan lelah menangis, aku lantas berdiri dan berjalan untuk kembali ke rumah.

Tak jauh berjalan, aku langsung dihadang oleh seseorang yang aku kenal betul siapa ia. Ia lantas membuka topi dan maskernya, memperlihatkan wajahnya untuk pertama kalinya padaku. Jujur, aku langsung kaget dan menutup mulutku sendiri.

"Kaget? Gak usah sok dramatis"

Aku tersenyum miring, memperhatikannya yang menatapku tajam seolah ingin menerkamku saat ini juga.

"Lebih baik kamu pergi, aku lagi tidak ingin bercanda." Ucapku. Saat aku melangkah hendak meninggalkannya, ia menarikku kembali dengan kasar agar berhadapan dengannya.

"Lo pikir gue bercanda? Gak! Gue selalu serius dengan apa yang gue lakukan!" Setengah membentak, kupikir ia benar-benar marah saat ini.

"Kamu gak lihat aku lagi berduka? Setidaknya kamu memaklumi hari ini. Kita bahas dilain waktu saja."

"Justru gue kesini mau bertanya satu hal sama lo. Tentang apa yang selama ini aku alami juga." Dia mendekat ke arahku. Bahkan wajahnya sudah tepat berada di hadapan wajahku. Sungguh mengerikan.

"Kamu mau bertanya apa?"

"Bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yang sangat lo sayangi?"

Pertanyaan itu, pertanyaan yang sungguh menyesakkan dada. Langsung terbesit rasa bersalah, saat orang itu bertanya dengan mata berkaca-kaca, persis yang aku alami saat ini.

Aku terdiam cukup lama hingga akhirnya ia melepaskan cengkramannya pada kedua lenganku dengan kasar. Ia menarik diri, cukup memberi jarak hingga akhirnya kembali mendekat.

"Tidak bisa jawab? Gue rasa begitu."

Aku mengangkat kepalaku, menatap matanya yang kini sudah memerah, "Kamu sebenarnya siapa. Setidaknya kamu kasih tahu ke aku apa yang sebenarnya terjadi. Yang kamu maksud, kasus kecelakaan kerja tahun 2018 itu, kan? Kamu siapanya bapak yang meninggal itu?"

"Gue pikir lo bakalan paham kalau gue bilang dia salah satu orang tersayang."

"Jangan bilang kamu a-anaknya?"

The PoliceOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz