Kamu yang Utama

216 19 0
                                    

Waktu memang begitu cepat berlalu. Ada waktu yang berlalu dengan diikuti kenangan yang begitu indah, ada pula waktu yang tega berlalu dengan diikuti oleh luka. Luka batin maupun fisik, luka yang dirasakan di hati maupun luka yang bisa dirasakan tubuh. Seperti saat ini, baru saja wajah itu bisa merasakan udara. Tapi kini, wajah itu telah kembali diam! Membiru, dan bersuara melalui perih.

Minggu malam telah tiba. Jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Denting jarum detik, tak membuat Angkasa sadar bahwa dia telah duduk selama empat jam di lantai bawah kasurnya. Lantai yang jadi saksi betapa kejamnya seorang kakek memukuli cucu tirinya itu. Bukan dari tangan seorang Mataja memang, tapi dengan menyuruh bodyguardnya dan duduk seakan menonton film, membuat hati Angkasa rasanya hancur tak bersisa, air matanya kering saat meraung-raung meminta bodyguardnya unuk berhenti memukuli dirinya hanya karena alasan, Angkasa sering keluar rumah.

"Tuhan gak kasihan sama Angkasa?" lirih Angkasa pelan dan serak. Rasanya pita suaranya lelah.

"Angkasa boleh menyerah gak? Apa Angkasa harus coba untuk pergi lagi? Tapi Tuhan jangan nyuruh kak Zevan atau orang lain untuk halangi Angkasa lagi yah,"

Gadis itu melemaskan kedua tangannya ke lantai. Berucap seperti anak kecil, yang memelas agar tak melarangnya untuk bermain. Tapi Angkasa memelas kepada Tuhan membiarkan dia untuk menyerah, membiarkan dia untuk pergi!

Satu butir air mata mengalir lagi di wajah Angkasa yang membiru, mulai dari sudut bibirnya, puncuk hidungnya yang sengaja diberi satu kepalan tangan keras dari bodyguard itu. Pipinya yang berulang kali ditampar, dan dahinya yang sesekali dibenturkan ke kayu bagian bawah kasurnya. Semuanya indah!

"Mereka gak punya alasan untuk perlakuin Angkasa kaya gini. Tuhan! Angkasa gak pernah lakukan apa-apa yang merugikan mereka. Tapi kenapa mereka pukul Angkasa, tampar pipi Angkasa, dan tendang pipi Angkasa?" isak Angkasa, tak terima.

"Angkasa cuman hidup dimana Tuhan nempatin Angkasa! Tapi kenapa Tuhan harus kasih tempat seperti ini untuk Angkasa? Kenapa Tuhan gak adil? Kenapa?" Angkasa memukuli dadanya, tak setuju dengan keadaan dan kenyataan hidup yang diberikan sang Pencipta.

Angkasa perlahan menutup matanya, membiarkan rasa lelah untuk menutupnya sendiri. Rasa sakit yang semakin meningkat tak dia hiraukan. Merasa sudah terbiasa untuk itu. Tapi belum sempat kelopak matanya saling bertemu....

"Drrrtttttt...." ponselnya bergetar, hanya bergetar tapi getarannya masih dapat Angkasa dengar.

"Kak Zevan?" guman Angkasa membaca kontak itu.

Dengan lihai Angkasa mengangkat telponnya itu, mendekatkannya pada telinganya.

"Yah kak?" ucap Angkasa berusaha membuat suaranya terdengar  ceria. Tapi nyatanya pita suaranya tak mengizinkan.

"Sa, kamu kenapa? Suara kamu aneh!"

Angkasa terdiam, "Gak apa-apa kok kak!" ujar Angkasa, namun naas hatinya dengan keras menolak! Gadis itu tanpa sadar membayangkan saat dirinya berpelukan dengan Zevan. Raganya butuh pelukan itu. Membuat suara Angkasa berubah menjadi sebuah isakan.

"Sa? Kamu kenapa? Jawab kakak!" Terdengar suara berat tegas dan terkesan khawatir dari seberang sana.

"Kakak bisa peluk Angkasa gak?"

Refleks ucapan itu keluar dari mulut Angkasa tanpa diperintah. Lalu sedetik kemudian, ponsel itu ia matikan. Gadis itu semakin menangis tersedu-sedu, air matanya keluar menguras energinya. Angkasa menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangannya. Kenapa dirinya selemah ini, setelah mendengar suara Zevan?

Hari semakin gelap, menyisakan jangkrik yang sesekali bersuara. Suara jam berukuran besar di ruang tengah serta angin yang menjatuhkan dedaunan di atap rumah itu. Semuanya telah menuju alam mimpi, tak terkecuali dengan Angkasa yang sudah terlelap tanpa merubah posisinya. Ia tertidur dengan keadaan menangis serta kepalanya yang sangat pusing.

Angkasa (THE END)Where stories live. Discover now