Kado Ulang Tahun dari Tuhan.

174 13 6
                                    

Indra penglihatan Angkasa dan Zevan sedang dihiasi oleh indahnya taman stoberi di sekeliling mereka. Sepasang kekasih itu tengah berjalan bersama dengan tangan yang saling mengaitkan dan lengkungan bibir yang tak pernah lekang dari keduanya. Rona kebahagiaan selalu Angkasa rasakan jika sedang bersama kekasihnya itu.

"Mau istirahat dulu?" tanya Zevan sedikit menoleh ke Angkasa, hangat.

Angkasa menggeleng kecil, "Angkasa masih pengen jalan-jalan kak," ujar Angkasa menolak.

Zevan mengangguk menurut, tangannya kembali mempererat tangan Angkasa, "Asal gak capek yah ... kakak gak mau kamu kecapean,"

"Iyah kak. Siap!" balas Angkasa terkekeh kecil.

Keduanya memang tak berniat untuk memetik buahnya, keduanya lebih memilihnya untuk menikmati pemandangannya saja. Hal yang jauh lebih indah, daripada rasa buah itu.

Pandangan Angkasa sedikit kabur, apapun yang dilihatnya rasanya memiliki bayangan. Namun Angkasa, menggelengkan kepalanya berusaha untuk tetap tenang, "Kamu bisa Angkasa!" tekad Angkasa.

"Angkasa mau gak makan stoberi? Kalau mau, kakak bisa petik untuk kamu?" tawar Zevan, hatinya merasa sayang, jika stoberi ini dibiarkan begitu saja.

Angkasa berusaha untuk tersenyum, "Gak usah kak, Angkasa gak begitu suka sama yang asam-asam," jawab Angkasa berusaha untuk berbicara.

"Oke sayang ..." sahut Zevan.

Angkasa bisa merasakan kepalannya semakin berdenyut hebat, dunianya seakan berputar, tubuhnya tak seimbang lagi. Gadis itu berusaha untuk menoleh kepada Zevan, dan kini kepala Zevan rasanya ada dua di mata Angkasa. Gadis tu memegangi kepalanya yang rasanya semakin nyeri.

"Kak Ze...." lirih Angkasa sangat pelan dan gemetar. Bibirnya kaku. Tubuhnya semakin lemah.

Zevan yang menyadari suara Angkasa, lantas langsung melihat Angkasa. Langsung saja mata Angkasa melotot tajam, "Sa ... kamu kenapa Angkasa?" histeris Zevan melihat wajah Angkasa yang pucat. Tubuh Angkasa juga jatuh, dan denham sigap Zevan menahannya dengan lengannya.

Angkasa menatap Zevan lekat, matanya semakin berkunang-kunang, gadis itu berusaha tersenyum, "Angkasa gak apa-apa kak," lemah Angkasa. Sedetik kemudian, pandangan Angkasa gelap, tubuhnya mati rasa, kelopak mata Angkasa semakin berat. Angkasa pingsan!

"Sa,. Angkasa...." teriak Zevan, sangat khawatir. Pria itu menepuk pelan pipi Angkasa, berusaha untuk membangunkan gadisnya itu. Namum nihil, bukannya malah bangun, wajah Angkasa semakin pucat! Bibirnya membiiru.

"Sa, bangun sayang ... jangan buat kakak khawatir!" bujuk Zevan lagi. Zevan diliputi rasa khawatir sekarang, separuh jiwanya hancur sekarang. Pikirannya mendadak buntu.

Zevan kembali terkejut dan semakin diliputi khawatir dengan darah segar yang keluar dari hidung Angkasa. Darah segar itu terus mengalir, hingga membasahi baju Angkasa.

Deru nafas Zevan semakin tak karuan, pria itu langsung melilitkan syal tadi di leher Angkasa. Memastikan gadis itu hangat dulu. Tanpa pikir panjang, Zevan membawa Angkasa dalam gendongannya. Keringat di dahinya mulai bercucuran, Zevan berusaha berlari secepat mungkin.

"Tolong ... Ayah, Icha ... Bintang...." teriak Zevan histeris. Suaranya mengisi penuh kebun stoberi itu.

Wisnu yang sedang berbincang-bincang dengan penjaga kebun, langsung saja mencari asal suara Zevan. Pria itu semakin tak tenang mendengar suara Zevan yang berkali-kali meminta tolong.

"Tolong...." teriak Zevan lagi, suaranya semakin serak.

Wisnu kini bisa merasakan suara Zevan semakin dekat dan jelas ditelinganya. Dan alangkah terkejutnya Wisnu melihat Angkasa yang pingsan di gendongan Zevan. Refleks, dengan cepat Wisnu berlari ke posisi Zevan, hingga pemilik kebun menatapnya aneh.

Angkasa (THE END)Where stories live. Discover now