Waktu yang salah

745 40 16
                                    

"Angkasa!" Panggil seseorang dari seberang sana.

"Yah, bu. Ada apa?" Tanyaku heran pada wanita yang merupakan kepala sekolah ku itu.

"Angkasa, ingat. Besok hari terakhir pembayaran SPP kamu. Wali kelas kamu sudah mengadu kepada saya tadi!"

"Baik bu! Saya janji besok akan membayarnya."

"Saya tunggu janji kamu. Kamu tau kan, apa akibatnya jika tak membayar SPP lagi?" tanya wanita itu lagi padaku.

"Saya tau bu." Jawabku singkat.

"Yasudah! Terimakasih. Kamu boleh pulang sekarang."

Kuraih, tangan kanan kepala sekolahku itu. Mengecupnya singkat, sebagai tanda penghormatan.

"Saya pamit Bu. Selamat siang." Pamit ku sopan.

"Yah!"

Aku kembali melanjutkan langkahku, yang sempat tertunda. Berjalan malas, seperti hari hariku sebelumnya.   Hampa! Yah, 1 kata itu tepat untuk menggambarkan hidupku.

Mulai menaiki angkot umum bernomor 41 itu. Hanya angkot biasa, berisi orang  orang berdesakan panas. Dengan bau keringat yang menyengat Indra penciuman ku.

"Sial!" Batinku. Tepat di sampingku, duduk seorang pria, yang terlihat bekerja sebagai tukang bangunan. Bau keringat, nya sangat ingin membuatku mengeluarkan isi perutku saat ini juga. Tapi, aku masih punya akal sehat, untuk menahannya. Kalau tidak, bisa bisa mereka berpikiran aneh. Apalagi aku memakai pakaian SMA. 

Aku duduk, dengan satu tangan menutup hidung dan mulutku. Mereka juga menatapku aneh. Mungkin karena seragamku yang sangat rapi. Atau bahkan dengan pipi ku yang membiru. Seakan baru ditonjok. Tak lupa dengan mata panda ku, dan juga bibirku yang sama sekali tak kuolesi lip balm seperti gadis gadis lain, hingga nampak kering. Tubuhku juga kurus. Aku tau apa penilaian mereka tentang diriku.

"Aku mayat hidup."

Perlahan kumasuki lagi, rumah ini. Rumah yang cukup besar di kota Bandung. Dengan dikelilingi pohon pohon. Jika tampak dari luar, rumah ini seakan tak punya kekurangan. Dan itu pasti, isi rumah ini sangat lengkap dengan 5 kamar keluarga, 5 kamar tamu, dan 1 kamar utama beserta masing masing toilet didalamnya. Diparkiran sudah tampak 5 mobil dengan warna yang berbeda beda.

Rumah yang jadi saksi penderitaan dan rapuhnya hatiku.

Tapi ada 1 yang kurang!

"Cinta."

Bukan cinta keluarga. Tetapi lebih tepatnya cinta untukku sendiri. Tanpa aku, mereka terlihat bahagia. Hingga aku menganggap mereka sebagai orang lain dan bermimpi aku punya keluarga seperti mereka.  Sungguh bodoh! Aku tak sadar bahwa  inilah keluargaku.

Saat akan masuk ke kamar milikku. Kulihat pria yang berstatus sebagai papa ku itu, berjalan menuju dapur. Yah, kamarku berada sebelum dapur jika dilihat dari kamar utama.

"Pah." Aku menarik pergelangan tangannya, saat dia sudah melewati posisi ku berdiri.

"Lepas!" bentak papa, dia menarik tangannya paksa. Aku yang memang lemah, tak kuasa menahan badanku. Hingga aku tercampak, badanku sakit. Tubuhku yang kurus, membua tulangku, cukup mudah terbentur.

"Aisshhh." desisku.

"Apa?"

Wajahnya terlihat murka, sungguh aku takut dengan wajahnya. Rahangnya mengeras, pipinya memerah. Seakan ingin memakanku saat ini juga. Apakah aku baru melakukan kesalahan yang besar hingga dia menatapku sangar?. Aku hanya menariknya lembut.

Aku mencoba berdiri, sebelum menjawab pertanyaannya itu.

"Maaf pah!" ujarku singkat.

"Saya tak butuh maafmu bangsat! Saya bertanya apa maumu? Apa kau tuli?" geramnya lagi memaki ku. Tenang, kata kata kasarnya sudah seperti angin lalu bagiku. Angin lalu dihadapanku, tapi kau tau? Hatiku juga meringis  tiap kali kata kasar keluar dari mulutnya.

Angkasa (THE END)Where stories live. Discover now