Kamu lagi kak

262 23 8
                                    

Angkasa Aliska Angel. Gadis itu sedang berjalan di salah satu trotoar, menikmati semilir angin yang sesekali menerpa wajahnya juga membuat rambut hitamnya, terbang indah. Hal yang membuat Angkasa tenang, ketika ia mendengar deru kendaraan yang berlalu lalang di sampingnya. Seolah tak ingin beristirahat atau hanya berhenti untuk sedetik saja.

Cewek dengan celana jeans hitam, juga dengan  sweater silver yang kebesaran itu mendudukkan bokongnya di salah satu anak tangga. Cuaca kota Bandung, saat malam sepeti ini membuatnya tak ingin melanjutkan perjalanannya lagi.

Angkasa terus memainkan matanya, menatap dengan tenang hadapannya juga sekelilingnya. Mulai dari pengemudi ojol yang tiba tiba berhenti dengan ponsel di kupingnya, pengamen jalanan yang masih bernyanyi malam malam begini. Semuanya tampak bahagia dengan aktivitas mereka masing masing. 

Kemarin sepulang dari Rumah Sakit,  Angkasa hanya beristirahat mengurung dirinya di kamar. Perih di dahi juga tubuhnya  sudah mulai membaik. Rasanya ia beruntung pingsan kemarin, setidaknya ia bisa tau kondisi tubuhnya.

"Aku tak tau apa yang lain, darimu hari ini? Apa itu karena sepatu flatmu, atau kukumu yang baru kau tau warnai, pernahkah kau bertanya seperti apa bentuk air tanpa wadah, pernahkah kau mengira seperti apa bentuk cinta?"

Pengamen jalanan itu bernyanyi dihadapan Angkasa, sembari memainkan keroncong dengan lagu dari eclat berjudul bentuk cinta. Angkasa berguman kecil mengikuti pengamen itu bernyanyi.  Cukup rasanya untuk menghibur dirinya.  Wajah gadis itu sangat bersinar di bawah cahaya bulan malam ini.

Lama kelamaan, Angkasa tak hanya berguman, gadis itu jadi ikut bernyanyi leluasa dengan pengamen itu, seakan melepas dahaga pedih yang ia simpan sambil menggoyangkan bahunya ke kanan dan kiri bergantian. Pengamen itupun takjub sekaligus senang melihat pelanggan mereka yang ikut bernyanyi bersama.

"Recehannya mbak," ucap pengamen itu menyodorkan plastik hitam, setelah keduanya selesai bernyanyi.

Angaksa memberikan selembar uang 20 ribuan sembari tersenyum hangat. Uang ini seakan kurang akan apa yang diberi pengamen itu kepadanya.

"Makasih banyak mbak, suaranya bagus!" pamit pengamen itu sebelum benar benar hilang dari hadapannya.

Angkasa kini berniat untuk pulang saja, dirinya juga takut ada preman malam yang akan mengusiknya.  Bagaimana juga, ia seorang anak gadis. Angkasa berjalan menyusuri trotoar kembali, gadis itu tak ingin untuk naik ojek atau taksi. Jalan kaki bisa memperlambat dia sampai rumah bukan?

Angkasa merasa ada yang mengikutinya dari belakang, saat ia memandang lurus ke depan, ia membayangkan ada bayangan yang mengikutinya. Saat dia menoleh ke belakang, bayangan itu seakan hilang di makan angin. Entahlah, tapi Angkasa dapat merasakan derap langkah itu.

Angkasa semakin memacu kakinya untuk berjalan lebih cepat. Jantungnya berdegup kencang, tangannya memperat pada tali ransel kecil yang ia kenakan. Angkasa merutuki dirinya tak pulang dengan kendaraan umum saja dan malah memilih berjalan kaki. Dirinya kalang kabut sekarang.

Angkasa sekarang berlari, nafasnya ngos-ngosan. Dadanya terengah-engah, naik turun tapi Angaksa tetap berlari.

"Brakkkkk!"

Dahi Angkasa menempel pada aspal. Sungguh sial! Gadis itu terjatuh oleh sebuah bongkahan batu yang tak dia lihat. Kakinya lemas, Angkasa memilih pasrah. Angkasa terlentang di aspal dengan posisi  terbalik.  Jantungnya semakin berlomba lomba untuk berdetak, saat Angkasa dapat merasakan kaki itu semakin mendekati posisinya.

"Angkasa, ngapain tidur disini?"

Memory Angkasa seakan berlari untuk mengenali siapa pemilik suara itu. Suara berat khas pria ini seolah pernah lewat di telinga Angkasa. Mata gadis itu masih menutup, membiarkan dirinya masih terbaring di aspal. Cukup lama dengan posisi itu, Angkasa membuka matanya, dan mulai berdiri dari posisinya tadi.

Angkasa (THE END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang