Because You

239 9 0
                                    

5 jam berlalu dalam keheningan. Tiap detik yang berjalan rasanya menjadi sangat berarti kini. Tiap hembusan nafas kian jadi arti, kalau hidup memang sangat bermakna. Tiap pergerakan jarum panjang jam kini jadi lebih sulit.

Wisnu, Bryan, Angkasa, dan Icha tengah dilanda khawatir. Karena lampu berwarna merah di atas pintu ruangan operasi pria itu belum kunjung padam. Dan itu artinya operasi Zevan belum selesai, di waktu yang sudah menuju jam kelima.

Angkasa menggigit bibirnya gemetar, wajahnya pucat, bahkan gadis itu terlihat sangat gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di depan ruangan itu. Menatap cemas pada pintunya yang belum bisa terbuka.

"Kenapa operasinya lama banget," lirih gadis itu takut.

Bryan menghampiri putrinya itu, mengusap bahunya, "Sa, duduk ya. Kamu itu baru aja diambil darahnya, kamu gak boleh kecapean sayang," bujuknya sembari membawa gadis itu agar kembali duduk.

"Pa, kak Zevan bakalan baik-baik aja kan?" polos Angkasa menatap Bryan lekat.

Bryan mengangguk hangat, "Iya Angkasa. Kamu tenang ya," jawabnya.

Wisnu sedikit menoleh kepada Angkasa. Ia bisa tau bagaimana perasaan gadis itu. 

"Makasih karena udah sumbangkan darah kamu ke anak om ya Angkasa," ujar Wisnus lembut.

"Sama-sama om. Angkasa gak cuman sumbangkan darah ke anak om kok,"

Wisnu mengerutkan keningnya dalam, "Kamu sumbangkan darah kamu kemana lagi?" tanya Wisnu.

"Angkasa sumbangkan darah ke pacar Angkasa juga!" tegas Angkasa, membuat Wisnu terkekeh gemas. Hingga mengusap rambut hitam gadis itu.

Wisnu menghela nafasnya berat, walau tampak gusar, "Zevan pasti kuat, karena punya gadis kaya kamu," ujarnya hangat.

"Semoga om!" balas Angkasa.

Keduanya kembali menatap ruangan operasi Zevan. Raut gelisah kembali merambat.

Selang 30 menit, lampu bercahaya merah itu padam. Menandakan operasi telah selesai. Dengan langkah gontai, Angkasa berjalan menuju pintu itu. Menatap gelisah karena belum ada satupun petugas medis yang keluar dari sana.

Bryan mengelus punggung Angkasa, "Sabar sayang!" bujuknya.

"Gimana keadaan Zevan dok?" tanya Wisnu tergesa-gesa pada seorang dokter yang kini berdiri di hadapan keempat orang itu.

Dokter berpakaian serba hijau itu terlihat menghela nafas lelahnya. Ia membuka sarung tangan yang tampak sangat kotor.

"Kondisi Zevan masih belum sadarkan diri pak. Pendarahan di otaknya membuat ia dalam kondisi tidak sadarkan diri. Zevan juga mengalami keretakan pada tangan dan kaki kanannya," tegas dokter wanita itu.

Kepala ketiganya seakan ditimpa beribu batu besar kini. Pendarahan otak? Retak? Apa semua itu harus dirasakan pada orang sebaik dan bijaksana seperti Zevan Prawyra Nugraha?

Kepala Angkasa terjatuh lemah di pundak Bryan, sembari air mata yang kembali jatuh entah untuk keberapa kalinya.

"Apa langkah selanjutnya dok?" tanya Wisnu lagi.

"Langkah selanjutnya adalah menunggu pasien sadar. Setelah itu kita akan melaksanakan satu operasi lagi untuk tangan dan kakinya. Karena di operasi tadi kami hanya fokus pada pendarahan otaknya dahulu. Tapi untuk tangan dan kakinya kami sudah lakukan pemeriksaan!" ucap wanita itu dengan memperhatikan tiap detail kalimatnya.

Wisnu mengangguk, berusaha tetap kuat ditengah hatinya yang seakan teriris melihat keadaan anak pertamanya itu.

"Baik! Saya permisi yah pak, buk!" pamit dokter itu lalu berlalu dari hadapan Angkasa, Bryan, Icha dan Wisnu.

Angkasa (THE END)Where stories live. Discover now