Pilihan

151 16 2
                                    

Zevan perlahan memasuki ruang rawat Angkasa, hal pertama yang dilihat pria itu adalah gadisnya yang sedang terlelap. Wajah teduh itu kembali membuat dada Zevan kembali sesak. Hancur rasanya, melihat orang yang paling ia sayangi harus mengalami penyakit ganas itu.

Perlahan Zevan menghampiri Angkasa, berusaha tetap berjalan hati-hati agar tak menimbulkan suara yang bisa saja mengganggu tidur Angkasa. Zevan perlaham mengelus pipi Angkasa lembut, "Maafin kakak Sa ... harusnya kakak lebih bisa jaga kesehatan kamu," lirih Zevan.

"Andai kita bisa tukar posisi Sa ... izinin kakak ada di posisi kamu, biarin kakak yang rasain semuanya, bukan kamu!" Mata yang berkaca-kaca kini tak bisa lagi menutupi seberapa besar kesedihan Zevan.

Zevan mengelus rambut Angkasa seraya berkata, "Tapi, walaupun kita gak bisa tukar posisi, kakak akan selalu ada disini buat kamu, " Kali ini air mata pria itu tak terbendung lagi. Bulir kristal putih turun perlahan. Isak kecil mulai terdengar, deru nafas Zevan terdengar sesak.

Angkasa yang merasakan ada yang mengganggu tidurnya, perlahan membuka matanya, Zevan yang sedang menangis langsung menghiasai mata gadis itu, senyum simpul lansung terbit di bibir Angkasa.

Angkasa perlahan duduk dari tidurnya, "Jangan nangis kak, Angkasa kuat kok!" ujar Angkasa lembut, sembari menghapus air mata Zevan.

Zevan menatap Angkasa heran, "Kamu udah tau Sa?" tanya Zevan dengan alis yang terangkat sebelah.

Angkasa mengangguk, "Angkasa tau, kalau Angkasa punya kanker di tu-"

Belum sempat Angkasa menyelesaikan kalimatnya, Zevan merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Air mata yang tadinya Zevan tahan, akhirnya keluar dengan bebas. Ia tak kuasa lagi.

Angkasa mengelus punggung prianya itu hangat, "Angkasa yang kena kanker kak, bukan kakak!" tegas Angkasa seraya terkekeh kecil.

"Kenapa kamu ketawa Sa? Apa kamu pikir kanker itu penyakit yang sepele?" Zevan menatap Angkasa meminta penjelasan. Takut gadis itu salah anggap.

Angkasa menggeleng pelan, "Gak! Angkasa tau kalau penyakit ini akan semakin ganas dan bisa renggut nyawa Angkasa. Angkasa gak sebodoh itu kok!" jawab Angkasa tegas.

Zevan mengerutkan dahinya dalam, seolah meminta penjelasan lebih lanjut.

Angkasa menghela nafasnya berat, "Siapa yang selalu bilang kalau Tuhan gak pernah kasih cobaan diluar batas kemampuan umatnya? Angkasa cuman pegang kalimat itu!" ujar gadis itu penuh penekanan.

Zevan mengelus pucuk kepala gadisnya itu hangat, sembari tersenyum simpul di sela-sela air matanya yang mengalir. Teringat kalau dirinya harus tetap kuat, namun sekarang, Angkasa kelihatannya lebih kuat dari Zevan sendiri.

"Kakak jangan nangis, Angkasa bisa kok, Angkasa gak selemah itu," tegas Angkasa.

Zevan mengangguk pelan, "Kakak akan selalu ada buat kamu!" tegas Zevan, membawa lagi gadisnya itu dalam pelukannya, mengelus punggung gadis itu hangat.

Angkasa membalas pelukan Zevan, menyandarkan kepalanya di dada bidang Angkasa. Tanpa sadar butir kristal bening tetap  mengalir perlahan.  Gadis itu takut akan kehilangan pelukan ini, tanpa ada kesempatan untuk mendapatkannya lagi dalam duniawi.

*********

"Kak?"

Zevan menoleh kebelakang, dan mendapati ayahnya yang berjalan ke posisinya berdiri.

"Ada apa ayah?" sahut Zevan ketika ayahnya sudah mulai dekat.

"Kita sebaiknya pulang nanti malam ke Bandung. Ayah udah bicara sama dokternya. Dan kata dokter Angkasa udah cukup kuat untuk pulang," kata Wisnu dengan sorot serius.

Angkasa (THE END)Where stories live. Discover now