MAAF

340 16 0
                                    

Benar kata dunia, kalau penyesalan selalu saja datang terlambat. Menghadirkan kekecewaan besar untuk diri sendiri. Menyematkan luka diantara amarah, yah itulah penyesalan.

Tetesan air mata selalu mengalir di wajah Angkasa, wanita yang belum sadar itu tengah berjuang antara hidup dan mati. Di antara sel jahat dan perih yang menusuk kulitnya. Balutan perban putih membaluti tubuh Angkasa. Pucat! Satu kata yang mendeskripsikan kondisi tubuh gadis itu.

Dari luaran ruangan itu, ada banyak orang yang kali ini menantikan Angkasa untuk kembali. Zevan, pria itu terus menatap Angkasa dari balik pintu dengan Isak yang menggerogoti kerongkongannya.

"Bangun sayang, bangun pacarnya Zevan...." lirih Zevan pelan.

Seorang dokter akhirnya keluar dari ruangan itu, wajah resah dan balutan jas putih kedokteran menempel pada dokter berperawakan tampan itu.

"Gimana kondisi putri saya dokter?" tanya Bryan gelisah. Pria itu sangat berantakan.

"Putri bapak sudah dalam kondisi yang terbilang stabil. Kaca-kaca di tubuhnya sudah kami bersihkan, luka akibat kacanya juga tak terlalu parah. Kita doakan saja Angkasa cepat pulih dan sembuh!" kata dokter itu tegas.

Bryan akhirnya bisa sedikit bernafas lega. Wajah Zevan juga kelihatan lebih sedikit berseri.

"Namun...." ucap dokter itu menggantungkan kalimatnya.

"Apa dok?" serempak Bryan dan Zevan.

"Sel kanker di tubuh Angkasa, tampaknya sudah semakin mengganas. Leukimia nya sudah memasuki stadium 3. Oleh karena itu Angkasa harus bedrest total untuk sementara waktu. Dia harus dirawat di Rumah Sakit, melihat tubuhnya yang sudah semakin lemah!" lanjut dokter itu penuh penekanan. Membuat kepala Bryan dan Zevan seakan ditimpa batu besar.

"Apa yang harus saya lakukan dok, demi putri saya bisa sembuh?" tanya Bryan tergesa-gesa. Detak jantungnya tak lagi beraturan.

Pria tampan itu menarik nafasnya berat, "Untuk saat ini yang bisa kita lakukan hanyalah pengobatan yang maksimal disertai dengan kemoterapi. Dan yang lebih besar adalah berdoa kepada Tuhan agar diberi yang terbaik!"

Dokter itupun akhirnya berlalu dari hadapan Bryan dan Zevan. Bryan melangkah dengan gontai, memandang dinding di Rumah Sakit dengan tatapan kosong. Hingga akhirnya pria paruh baya itu terduduk tanpa tenaga.

Zevan duduk di samping Bryan, menatap pria itu cukup kasihan sembari menepuk punggungnya, "Angkasa pasti sembuh om, kita harus banyak berdoa bukan?"

Bryan menoleh ke arah Zevan, menatap Zevan dengan cukup lekat, "Maafin om yah!"

Zevan cukup terkejut dengan perkataan Bryan pula dengan wajahnya yang penuh rasa bersalah.

Zevan menarik nafasnya berat, sembari menjawab, "Gak apa-apa om! Tiap orang gak ada yang sempurna. Mau itu om, ataupun Zevan sendiri sama-sama punya kesalahan. Tinggal kitanya mau memaafkan atau malah menanam benci di hati. Zevan maafin om kok!"

"Tapi kesalahan om untuk Angkasa banyak banget nak. Om ragu Angkasa milih maafin om atau benci sama om!" sahut Bryan menunduk hampa ke bawah.

Zevan tersenyum simpul, ada rasa bahagia melihat Bryan sangat menyesali perbuatannya kepada gadisnya itu.

"Om gausah mikirin itu dulu. Yang terpenting om udah menyesal dan minta maaf kepada Angkasa. Urusan Angkasa maafin atau enggak itu belakangan!" jawab Zevan bijak, membuat hati Bryan cukup tenang.

"Makasih yah nak! Om rasa kamu laki-laki yang cocok buat putri om!"

Deg

Perkataan Bryan cukup bisa membuat hati Zevan merona. Detak jantungnya berdetak lebih cepat. Zevan kikuk! Tentu saja karena ucapan Bryan adalah harapannya.

Angkasa (THE END)Where stories live. Discover now