Suprise

139 9 0
                                    

Zevan sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Wangi shampo clear rasanya bisa mendominasi harum kamar pria itu saat ini. Pria yang sedang bertelanjang dada itu kini, mulai mengenakan pakaiannya. Seperti biasa, hanya sebuah celana jeans hitam, kaos hitam dan kali ini ditemani oleh kemeja merah.

Zevan melirik jam dinding di kamarnya. Masih menunjukkan angka 08:00 pagi. Sepagi ini, pria itu ingin ke kampus dulu. Setelah itu berlanjut jalan dengan kekasihnya.

Zevan akhirnya selesai mengurus dirinya juga keperluannya. Ia mulai berjalan dengan langkah santai menuju luar.

"Pagi pa," sapa Zevan, melihat Wisnu yang tengah sarapan dengan secangkir kopi.

"Pagi kak," balas Wisnu.

"Katanya dokter, masa sarapan pakai kopi," goda Zevan sembari duduk di depan ayahnya.

Wisnu ikut terkekeh, dalam hati ia juga ikut mengejek dirinya, "Dokter juga manusia kak. Butuh kenikmatan juga. Emang ada yang lebih nikmat dari secangkir kopi di pagi hari?" sahut Wisnu.

Zevan hanya mengangguk, mengambil sepotong kue tawar, lalu mengoleskannya dengan selai coklat.

"Kamu mau berangkat ke kampus kak?" tanya Wisnu dibalas anggukan oleh Zevan.

"Yaudah, berangkat sama papa yah," tawar Wisnu.

Zevan menaikkan alisnya sebelah, "Zevan kan bawa mobil. Kalau Zevan berangkat pakai mobil ayah, trus nanti pulangnya gimana?" bingungnya.

"Siapa yang bilang pakai mobil ayah? Pakai mobil kamu lah, mobil ayah lagu di service," bantah Wisnu.

Zevan mengangguk paham, sedetik kemudian, "Trus pulangnya ayah gimana?"

"Yah, kamu jemput lah kak,"

Zevan menggeleng menolak, "Gak bisa! Angkasa ngajak Zevan ketemu. Nanti mau jalan,"

"Kamu bisa jemput ayah dulu kan, baru jalan sama pacarmu?" Wisnu memang tak mau kalah.

Zevan menghela nafasnya berat, walau bagaimanapun ia tetap harus mendahulukan kepentingan orang tuanya, daripada dirinya sendiri. Ia juga tak ingin ayahnya kenapa-kenapa jika pulang sendirian.

"Oke yah, nanti malam Zevan jemput," pasrah Zevan.

Wisnu terkekeh, "Ayah ngerepotin kamu yah?"

Zevan menggeleng tegas, "Gak! Ayah gak boleh ngomong gitu," ucapnya penuh penekanan.

"Yaudah, kita berangkat yah," Wisnu mulai beranjak dari duduknya, diikuti oleh Zevan. Keduanya mulai berjalan menuju parkiran mobil Zevan.

"Van, kamu ingat kan, apa yang harus kamu lakukan Minggu depan?" tanya Wisnu, di tengah perjalanan.

Zevan melirik ayahnya sebentar, lalu kembali fokus ke jalanan di depannya. Wajah pria itu terlihat lesu, nafasnya tiba-tiba berat mendengar omongan ayahnya.

"Zevan ingat pa, tapi apa itu gak bisa ditunda dulu?" tanya Zevan berat.

Wisnu mengerti perasaan anaknya itu, tapi di satu sisi ia tak ingin putranya menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Kak, ayah tau gimana perasaan kamu. Tapi, bukankah ini yang jadi mimpi kamu sejak dulu? Kak, ayah sudah perjuangkan ini selama satu tahun, sejak kamu utarakan mimpi ini ke papa. Dan sekarang apa yang papa perjuangkan sudah hampir selesai. Sekarang urusannya kamu untuk berjuang disana," kata Wisnu lumayan tegas.

Zevan bingung sekarang! Entah kenapa mimpinya dulu sekarang menjadi penyesalan. Kini ia tak ingin meninggalkan Indonesia, meninggalkan Institut Teknologi Bandung, meninggalkan keluarganya, dan yang terutama ia sangat tidak ingin meninggalkan Angakasa-nya yang tengah sakit parah.

Angkasa (THE END)Where stories live. Discover now