Yours

106 7 0
                                    

Hari ini adalah 1 hari sebelum Zevan akan berangkat ke Jepang. Melanjutkan mimpi yang sudah lama ditunggu pria itu. Yah, Zevan memutuskan untuk tetap pergi. Meninggalkan Angkasa dan keluarganya.

"Barang-barang kamu semua udah siap kak?" tanya Wisnu berdiri di ambang pintu kamar Zevan. Terlihat ada 2 koper berisi penuh, serta kotak dan tas besar yang terlihat bersamanya.

"Sudah ayah," jawab Zevan, sedikit menghela nafas lelah.

Wisnu masuk ke kamar Zevan, duduk di kasur putranya itu. Sembari memberi isyarat agar Zevan duduk di sampingnya.

"Ayah tau ini berat buat kamu. Tapi ayah juga tau kalau kamu sudah cukup bijaksana buat memutuskan untuk pergi. Melanjutkan kuliah kamu disana," ujar Wisnu lugas.

Zevan mengangguk, "Zevan gak mau sia-siakan perjuangan ayah selama setahun ini supaya Zevan bisa ikut program pertukaran mahasiswa di Jepang. Ini juga demi masa depan Zevan dan keluarga kita," balas Zevan tak kalah lugas dan bijaksana.

Wisnu mengangguk, menepuk pundak anak sulungnya itu bangga.

"Jaga diri kamu yah kak! 2 tahun disana, kamu harus rajin telfon ayah, juga Icha. Jangan sampai lupa dengan Indonesia, kebudayaan kita, dan juga kelurga kamu!" nasihat Wisnu tegas.

"Iya yah. Zevan janji bakalan sering telfon kalian. Zevan juga janji gak akan lupa sama keluarga dan Indonesia!" ujar Zevan lekat.

"Ayah juga jangan terlalu capek ngurus klinik dan Rumah sakit. Ingat, usia ayah gak muda lagi,ayah harus jaga kesehatan ayah. Zevan gak mau ayah sakit," lanjut Zevan lagi, dadanya terasa sesak, membayangkan akan meninggalkan keluarganya selama 2 tahun.

"Iya kak! Kamu jangan khawatir, fokus sama diri kamu dan kuliah kamu ya," sahut Wisnu.

Keduanya pun saling berpelukan, saling merangkul satu sama lain. Ayah dan putranya itu menguatkan saling menguatkan. Kalau mereka bisa melalui semuanya walau tak bersama.

"Icha mana?" tanya Zevan pada Wisnu, sembari melerai pelukan mereka perlahan.

"Di kamarnya. Adik kamu itu, masih belum ikhlas kamu pergi!" ujar Wisnu.

"Oke yah! Zevan ke kamar Icha dulu yah," permisi Zevan dibalas anggukan oleh Wisnu.

Zevan pun keluar dari kamarnya, berjalan ke arah kamar adik perempuan satu-satunya itu. Walau setiap langkahnya terasa semakin berat, hatinya semakin merasa terbebani.

"Dek," panggil Zevan pelan, sembari membuka pintu kamar Icha perlahan.

Terlihat Icha yang sedang rebahan dengan menutupi wajahnya dengan bantal. Rambutnya terlihat berantakan, dari sini Zevan bisa mendengar ada isakan kecil di balik bantal itu.

"Cha ..." panggil Zevan lagi, sembari menarik bantal secara lembut dari wajah Icha.

Kini tak hanya isakan yang dapat Zevan dengar, tapi Durai air mata adiknya itu terlihat jelas. Matanya basah, matanya bengkak, Icha menatap Zevan dengan tatapan sayu dan lekat.

"Kakak ngapain ke kamar Icha?" tanya Icha mulai duduk, sembari menghapus air matanya kasar.

Zevan tersenyum hangat, ikut menghapus air mata adiknya itu lembut, "Jangan nangis, kamu tau kan kalau kakak gak suka lihat adik perempuan kakak ini nangis," goda Zevan berkata.

Bukannya malah membaik, air mata Icha malah semakin jatuh, isakannya semakin keras. Hatinya tak tahan, membayangkan perhatian kakaknya yang seperti ini akan hilang. Ia tak mampu sendirian.

Zevan menarik Icha, memeluknya, mengusap punggungnya perlahan.

"Kakak cuman pergi 2 tahun Cha ... bukan selamanya, kamu gak perlu nangis segini nya," ujar Zevan terkekeh kecil.

Angkasa (THE END)Where stories live. Discover now