Baikan

159 11 2
                                    

Pukul 03:00 WIB, dini hari. Wisnu, Zevan, Icha, Bintang dan Angkasa telah sampai di rumah keluarga Nugraha. Kali ini tubuh Angkasa terlihat lebih lemas, gadis itu terus membayangkan apa aja yang bisa terjadi ketika dia pulang nanti. Bibirnya tampak semakin pucat, matanya sembab. Syal dari Zevan, serta sweater terbalut rapi di tubuhnya.

"Bintang, temanin kakak kamu ke kamar yah ..." suruh Zevan kepada Bintang. Yah, sejak kejadian tadi keduanya belum saling berbicara. Segala hal yang ingin dilakukan Zevan kepada Angkasa, dititipkannya kepada Bintang, termasuk untuk mengingatkan Angkasa memakai syal dan sweater.

"Iyah kak!" turut Bintang, cukup kasihan melihat Zevan.

Semuanya masuk ke rumah dalam diam, hening. Tak ada satupun yang memancing obrolan. Perjalanan mereka tadi juga diisi dengan sunyi. Berbeda dengan perjalanan mereka ketika berangkat kemarin, yang penuh dengan obrolan dan candaan.

"Kak, sebelum tidur makan dulu yah," peringat Bintang seraya memegang hangat tangan Angkasa ke dalam rumah.

Angkasa menggeleng, "Enggak Bin, kakak gak lapar, kakak cuman capek aja, izinin kakak tidur yah, sebelum kita pulang kerumah nanti," ujar Angkasa lemah. Dada gadis itu rasanya semakin sesak, nafasnya juga terasa ngos-ngosan, padahal gadis itu hanya duduk di dalam mobil.

Bintang menatap kakaknya itu sendu, baru stadium 2, tapi tubuh kakaknya ini sudah seperti ini.

"Yasudah, ayo kak!" ajak Bintang, tersenyum hangat dan seraya merangkul pundak Angkasa, menuju kamar Angkasa.

Zevan menatap Angkasa dan Bintang dari jauh. Sesak  melihat ia sekarang rasanya punya jarak dengan Angkasa.

"Angkasa marah sama kamu kak?" tanya Wisnu, menepuk pundak Zevan pelan, ikut berdiri disampingnya.

Zevan tersenyum, "Iya yah ... dia dengar obrolan kita di Rumah Sakit tadi. Setelah itu panjang ceritanya," ujar Zevan, nafasnya terdengar gusar.

"Ayah tau kak...." sahut Wisnu, membuat Zevan heran, dahinya langsung berkerut dalam.

"Ayah tau apa?"

"Ayah tau dia dengar semua apa yang ayah bilang di Rumah Sakit, ayah tau dia mau pergi dan menetap di Bogor. Ayah jia yang larang dia buat pergi," papar Wisnu tenang.

"Dan ayah juga tau kenapa dia marah sama kamu," lanjut Wisnu lagi.

"Maksud ayah apa sih? Zevan sama sekali gak ngerti!"

Wisnu memghela nafasnya berat, "Jadi gini kak, ....."

Wisnu pun menceritakan apa yang dia katakan kepada Angkasa secara jelas. Tanpa menyembunyikan apapun dari putranya itu.

"Kenapa ayah ngomong gitu kepada Angkasa?" Nada suara Zevan terdengar meninggi, Wisnu sudah sangat mengira kalau Zevan pasti marah akan hal ini.

"Ayah melakukan ini supaya Angkasa gak pergi kak ..." sahut Wisnu berat.

"Tetapi kenapa harus itu yah? Apa gak ada cara lain?" tanya Zevan lagi.

Wisnu menghela nafasnya berat, "Kamu gak lihat kalau wajah Angkasa terlihat nekad? Apa kamu yakin kalau Angkasa  gak pergi seandainya ayah gak ngomong itu?"

"Apa ayah gak suka kalau Zevan ada hubungan sama Angkasa? Kenapa ayah rasanya jauhin Zevan dari Angkasa yah?" suara Zevan terdengar lemas.

Wisnu menggeleng tegas, "Enggak kak! Sama sekali enggak. Kamu lihat kan, gimana perjuangan ayah buat rawat Angkasa disini, sewaktu Angkasa lumpuh? Kamu kuliah, Icha sekolah, ayah kan yang bawa Angkasa buat rawat jalan ke Rumah Sakit? Itu tandanya kalau ayah setuju sekali kalau kamu dan Angkasa ada hubungan," papar Wisnu, cukup tidak menyangka dengan tuduhan Zevan.

Angkasa (THE END)Where stories live. Discover now