Chapter 22 : Adios

5.4K 955 248
                                    

'Semua hal yang tidak nyata itu tidak pernah bisa untuk diraih. Termasuk kamu.'

*****

"Sebenarnya apa yang mau kamu bicarain, Bian?" Vania lebih dulu membuka pembicaraan di antara mereka. Satu tangannya kini terulur mengecilkan volume pada siaran radio—bersiap menunggu Bian membuka suara. Sementara pandangannya masih fokus ke depan, memperhatikan jalanan yang jauh dari kata lengang.

"Maksud kakak?"

Vania menghela napas. "Enggak biasanya kamu minta anter kayak gini. Pasti ada sesuatu, kan?"

Bian tidak langsung menjawab. Sekilas ia memandangi bangunan di pinggir jalan, kemudian menoleh ke arah Vania yang fokus menyetir. "Aku emang mau beli bahan buat ujian praktek, kok. Cuma sekalian mau bicara sesuatu."

"Tentang?"

"Kak Viero."

Vania mengernyit. "Memangnya ada apa sama Vi?"

"Aku enggak sengaja dengar pembicaraan kakak sama kak Viero di ruang rawat." Bian menjeda ucapannya. Ia menatap Vania dengan sorot serius. "Kak Vi beneran hamilin Kak Rhea?"

Vania tersentak. Tanpa sadar ia menginjak pedal rem pada mobilnya. Beruntung tidak ada kendaraan yang menabrak, tetapi hal itu membuat beberapa bunyi klakson terdengar bersahutan dari arah belakang.

Bian berdecak. Menatap Vania dengan raut wajah kesal. "Bisa nyetir yang benar nggak, sih?" sentaknya. Meski memakai sabuk pengaman, tetap saja dahinya hampir membentur dashboard mobil.

Vania tidak menyahut. Anggap saja pertanyaan barusan adalah bentuk dari rasa panik Bian. Gadis itu lebih memilih untuk menepi. Menghentikan mobilnya di depan minimarket sebentar sebelum kembali mengantar Bian.

"Kamu bilang ini ke tante?" Vania bertanya was-was setelah mematikan mesin mobil. Mengingat Bian adalah tipe orang yang mudah sekali berbicara tanpa disaring, dia takut kesalahpahaman ini akan berlanjut semakin besar.

Bian hanya menggeleng sebagai jawaban. Dia tidak cukup berani untuk mengatakan bahwa Vi telah menghamili seorang gadis pada orangtuanya. Bisa-bisa ia kena imbasnya juga. Yah, meskipun ia jarang bergaul dengan teman-teman perempuan. "Akhir-akhir ini, aku enggak ngobrol banyak sama mama. Takut keceplosan."

Vania menghembuskan napas lega. Ia sampai bersandar pada kursi kemudi. "Ini salah paham," ucapnya. "Bukan Vi yang membuat Rhea hamil. Manager Vi yang ngasih tahu kakak."

"Bagus, deh. Aku emang sering berantem sama Kak Viero. Aku juga tau Kak Viero sering ketemu cewek di lokasi syuting. Dia punya banyak fans juga, tapi aku yakin dia enggak bakalan seberengsek itu."

Tanpa sadar, Bian menyunggingkan senyum tipis. Ia kembali mengingat bagaimana lucunya ketika ia dan Vi bertengkar karena satu masalah kecil. Vi yang menyimpan banyak strawberry cake di dalam kulkas dan Bian yang mual mencium baunya. Tidak ada yang mau mengalah di antara mereka, sampai Vi tidak bisa ikut syuting karena mengurus Bian yang terus-terusan muntah di rumah.

"Sebenarnya, Mama enggak nyuruh aku buat jagain Kak Viero." Kata Bian setelah menarik diri dari lamunannya.

Vania mengurungkan niatnya untuk kembali menyalakan mesin mobil. Ia menatap Bian seraya mengernyit. "Terus kenapa kamu nyuruh Arin jagain Vi?"

"Mau aja," jawab Bian cepat. "Katanya, Kak Vi bosen sendirian terus di ruang rawat. Kak Arin juga lagi libur. Jadi, aku suruh Kak Arin aja buat ke sana. Nggak mungkin aku suruh Kak Rhea. Aku kan nggak kenal sama dia."





•••••





"Ah, ma—maaf. Sepertinya aku salah masuk ruangan." Arin meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia tidak pernah menyangka jika kalimat itulah yang pertama kali diucapkannya saat bertemu dengan Vi. Bukan kalimat tulus yang sering diucapkan seorang penggemar, melainkan kebohongan untuk melarikan diri.

Dengan kedua kaki yang gemetar, Arin mencoba untuk mundur beberapa langkah. Ia kemudian berbalik seraya menggigit bibir bawahnya kuat. Sedang berusaha terlihat normal meski kini kedua matanya mulai terasa memanas. Entah sejak kapan, napasnya terasa memberat sampai ia merasa sesak.

"Tunggu!"

Arin kembali mematung. Mendengar suara tersebut malah membuatnya semakin gemetar hebat. Jangan panik! Jangan panik! Arin menarik napas dalam berusaha tenang, kemudian ia berbalik dengan wajah yang masih tampak tegang. Mustahil tidak gemetar saat bertemu idola sendiri. Apalagi ia adalah seseorang yang paling dicintai.

Sesaat tatapan keduanya kembali bertemu. Mereka sama-sama terdiam seakan menyelam dalam keheningan. Arin kembali meneguk ludahnya dengan susah payah. Bisakah waktu berhenti untuk saat ini saja? Ia benar-benar tidak tahu harus berbicara apa, selain diam dan ingin terus memandangi Vi. Tampan sekali.

"Maaf, bisa tolong ambilkan air minum itu?"

"Oh?"

Arin mengerjap. Seketika ia menarik diri dari lamunannya. Lekas ia pun menoleh pada air mineral di meja yang berada dekat pintu tersebut. Dengan gemetar ia meraih botol minum itu. Jantungnya terdengar berdetak keras. Bahkan ia mengabaikan derap langkah kaki yang terdengar semakin jelas di telinganya.

Arin kemudian melangkah ragu mendekati Vi. Hendak memberikan botol minum tersebut, tetapi belum lima langkah ia berjalan, seseorang lebih dulu menarik tangannya kuat sehingga ia berbalik. Satu tamparan keras mendarat mengenai pipinya. Arin mengerjap begitu merasakan perih panas luar biasa. Sontak ia menoleh. Melihat siapa yang sudah menamparnya.

Rhea.

"Seharusnya kamu tahu diri dan jangan pernah lagi mengganggu Vi!"

Arin membeku. Pipinya masih terasa sakit, namun tatapan nyalang itu seakan mampu menyedot seluruh tenaganya sehingga ia merasa lemas. Ada sesuatu yang menyelinap kuat ke dalam hatinya dan itu adalah perasaan terancam. Posisinya akan kembali ke tempat semula. Vi akan kembali kepada Rhea dan ia akan tetap menjadi seorang penggemar. Tidak ada yang berubah sebab mungkin memang begitulah takdirnya.

Dengan tatapan tak suka, Rhea mulai mengalihkan pandangannya dari wajah Arin. Gadis itu mulai mendekati Vi. Mendekapnya erat dan mengatakan bahwa ia benar-benar khawatir sehingga Arin segera membuang mukanya ke samping.

Arin tidak mau melihat pemandangan tersebut sebab itu cukup membuat hatinya terasa nyeri. Ia dapat merasakan bahwa matanya semakin terasa memanas. Terlebih ada orang lain yang kini sudah mencengkram pergelangan tangannya dengan sangat kuat.

"Saudara Arin! Anda kami tangkap atas tuduhan penculikan seorang pasien. Mari ikut kami ke kantor polisi!"

Bersambung.....

Luv banget buat yang udah baca sampe chapter ini 💜 Btw gimana feel-nya?

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang