Chapter 13 : Extraordinary

6.6K 1.3K 139
                                    

'Meskipun tidak bisa menjadi pemeran utama, bukan berarti tidak bisa menjadi luar biasa.'

*****

Helaan napas terdengar dari celah bibir Vania. Gadis itu baru saja masuk ke ruang rawat dan ia menemukan Vi yang tengah sibuk memainkan ponsel barunya. Vi tampaknya tidak merasa terganggu sebab punggungnya masih tetap bersandar pada kepala ranjang. "Kamu nggak bosen di sini terus?"

Vi menatap Vania sekilas. "Bosen, Van. Punggung aku juga pegal. Kalo bisa, aku mau liburan," jawabnya seraya kembali fokus pada layar ponsel. Sejak sore tadi memang hanya itulah kegiatan Vi. Sibuk bermain game.

Vania yang menyimpan plastik berisi buah di atas nakas kini beralih mendudukkan dirinya di samping ranjang Vi. Ia kembali menghela napas. Raut wajahnya tampak cemas. "Vi, kamu serius nggak akan ngabarin Rhea kalo kamu udah siuman? Kamu nggak kangen sama dia?"

Vi membeku beberapa saat. Berusaha menata ekspresinya sebab ia tidak menduga pertanyaan itu akan keluar dari mulut Vania. Sekalipun ia kangen kepada gadis itu, tetap saja Vi merasa kecewa Rhea tidak lagi menjenguknya   apalagi gadis itu pernah mengatakan akan meninggalkannya jika tidak membaik. "Emangnya dia nyari aku? Enggak kan?"

"Serius, Vi! Kalo kalian punya masalah, lebih baik selesain sebelum jadi bertambah besar. Biar kamu juga nggak nyesel nantinya. Kamu masih suka sama Rhea, kan? Seharusnya kamu kasih dia kabar. Dia mungkin khawatir sama kamu."

Vi tersenyum getir. "Kalo Rhea khawatir, seharusnya dia temenin aku di rumah sakit. Dia pasti sibuk. Aku tau pekerjaan dia itu lebih penting, tapi aku nggak apa-apa. Kamu tenang aja."

Vania menghela napas jengah. Rasa khawatirnya perlahan berubah jadi rasa kesal. Ia benar-benar tak habis pikir dengan kedua calon pengantin tersebut. "Kalian kalo sama-sama nggak peduli kenapa waktu itu mau nikah, sih? Pantes aja pernikahannya gagal. Kalian mungkin nggak jodoh!"

Vi tidak begitu menanggapi meski telinganya jadi terasa agak panas. Mendengar ucapan sarkas Vania membuat Vi jadi merasa aneh. Aneh sekali karena ini pertama kalinya Vania berbicara sesarkas ini pada dirinya. Lebih aneh lagi ketika hatinya tidak merasakan apa-apa--biasa saja, tidak merasa sakit hati.

"Manager kamu yang nyariin. Dia datang ke rumah sakit nyari kamu," kata Vania meneruskan. Bahkan suaranya masih terdengar sesarkas itu di telinga Vi.

"Kamu ketemu Dehan?"

Vania menggeleng. "Suster yang bilang. Katanya, Dehan keliatan khawatir banget sampai--" Vania menggantungkan kalimatnya begitu mendengar ponsel di saku blazzer-nya berbunyi. "Sebentar," ucapnya setelah melihat nama Arin tertera di layar ponselnya tersebut.

Vi mengangguk saja. Sementara Vania akhirnya bangkit dan sedikit menjauh dari Vi. Ia mulai mengangkat panggilan dan mengarahkan ponselnya ke dekat telinga. "Ada apa?" tanya Vania cepat. Ia mendengarkan Arin yang tengah berbicara di seberang sana.

"Cari pacar malam-malam begini, kamu nggak salah, Rin?" Vania sontak melebarkan matanya terkejut. Ia tidak salah dengar kan? Vania sudah menduga bahwa Arin tidak mungkin menyerah dan menerima perjodohannya, namun Vania tidak pernah membayangkan jika Arin akan senekat ini. "Kamu nyari pacar atau uji nyali, sih?"

Vi melengo di tempat. Walaupun Vania sedikit menjauh untuk menerima telepon, tetapi Vi dapat mendengar percakapan tersebut meskipun agak samar. Apa sih yang mereka bicarakan sampai terdengar cari pacar dan uji nyali? Vi benar-benar heran sebab Vania jadi terus-terusan mengomel tanpa henti.

"Ada apa? Siapa yang cari pacar?" Vi akhirnya bertanya setelah Vania menutup sambungan telepon. Gadis itu kembali mendekat dan duduk di kursinya tadi.

Vania menghela napas. Masih setengah tak percaya. "Arin," jawabnya cepat membuat Vi sontak melebarkan matanya terkejut.

"Arin?"




•••••




Arin masih mengingatnya dengan jelas, bagaimana dengan bodohnya ia menanyakan "Biasanya cowok-cowok sering ngumpul di tempat apa?" Pada Bian dan Jino yang notabenenya satu frekuensi dengan dirinya—belum pernah pacaran, alias jomblo dari lahir, terakhir putus dengan tali pusar ibunya.

Maka Arin tak perlu merasa heran ketika Bian menjawab dengan entengnya "Di sekolah sama di tempat les." Dengan suara yang terdengar menjengkelkan di telinga. Sementara Jino pun menjawab tak jauh berbeda "Di kampus atau di warnet." Yang mendapat helaan napas panjang dari Arin.

Yah, mereka memang benar, sih. Cuma Arin saja yang bertanya kepada orang yang salah.

Arin menghembuskan napas berat. Salahkan saja dirinya yang belum pernah pacaran sama sekali. Karena Arin tak memiliki pengalaman di bidang percintaan, selain di bidang perhaluan yang sudah digelutinya sejak duduk di bangku SMA sekitar tujuh tahun terakhir.

Nyatanya kalimat 'Masa SMA adalah masa-masa yang paling indah' hanya sebagian oranglah yang merasakannya. Terlebih orang-orang yang populer disertai paras yang good looking. Jika diibaratkan seperti drama, jelas merekalah pemeran utamanya, sementara Arin hanyalah tokoh figuran yang jarang muncul dan tidak banyak dikenali.

Ting!

Arin mengerjap begitu ia mendengar satu notifikasi chat di ponselnya berbunyi. Dengan segera ia merogoh ponselnya dari saku celana, kemudian membuka isi chat tersebut.


Vania

Jangan lama-lama!
Aku males bukain pintu!


Arin berdecih. "Bilang aja khawatir,"
gumamnya dengan kedua sudut bibir yang terangkat sedikit. Lagipula Arin punya kunci sendiri untuk membuka pintu apartement. Jadi, Vania tidak perlu repot-repot membukakan pintu, apalagi sampai mengirim pesan yang jelas-jelas ia terlihat sangat khawatir.


Cari pacar itu nggak gampang!
Tidur aja sana!

Bersambung....

POV: Arin kena mental break dance :')

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


POV: Arin kena mental break dance :')

I'm Your FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang